Cherreads

Chapter 3 - The Journey to the Human City

Suara roda kereta yang berderak di atas jalan tanah masih terdengar pelan, berpadu dengan derap langkah kuda yang menariknya. Langit telah sepenuhnya gelap, dengan bintang-bintang mulai bermunculan di atas cakrawala. Seferce duduk diam, masih menatap ke luar jendela kereta, memperhatikan pemandangan padang rumput luas yang perlahan berubah menjadi perbukitan berbatu.

Di dalam kereta, suasana hening. Gondo, pedagang paruh baya yang ia selamatkan, kini tampak semakin nyaman berbicara dengannya, meskipun tetap menyimpan sedikit rasa segan. Sifiel, istri Gondo, dengan lembut membelai kepala putri mereka, Fiel, yang akhirnya tertidur setelah beberapa jam perjalanan. Napas kecil gadis itu terdengar pelan, menunjukkan bahwa meskipun kejadian sebelumnya cukup menegangkan, ia masih bisa beristirahat dengan tenang.

"Tuan Seferce..." Gondo akhirnya membuka suara, suaranya pelan, hampir seperti bisikan agar tidak membangunkan putrinya. "Saya tidak ingin bertanya terlalu banyak, tapi... saya belum pernah melihat seseorang seperti Anda sebelumnya. Anda... bukan manusia biasa, bukan?"

Seferce menoleh sedikit, mata emasnya yang bersinar samar di bawah cahaya lentera dalam kereta menatap langsung ke arah pria itu. Ia tidak menjawab dengan segera. Seolah mempertimbangkan setiap kata yang akan ia ucapkan.

"Aku bukan manusia," jawabnya akhirnya, suaranya tenang dan dalam. "Tapi itu juga bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan."

Gondo menelan ludah, tetapi ia tidak menunjukkan ketakutan seperti yang dilakukan kebanyakan orang ketika menghadapi sesuatu yang asing dan misterius. Sebaliknya, ia tampak lebih tertarik daripada takut. "Saya mengerti. Saya tidak akan bertanya lebih jauh. Saya hanya ingin berterima kasih sekali lagi. Jika Anda tidak datang tepat waktu, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada keluarga saya."

Seferce mengangguk kecil, menerima rasa terima kasih itu tanpa banyak bicara. Ia tidak melakukan itu karena ingin mendapatkan penghormatan atau ucapan terima kasih. Ia hanya... merasa itu adalah hal yang seharusnya dilakukan.

Malam semakin larut. Angin malam bertiup lebih dingin, membuat Sifiel menarik selimut lebih erat untuk menutupi putrinya. Seferce tetap duduk tegak, tanpa menunjukkan tanda-tanda lelah sedikit pun. Ia tidak memerlukan tidur seperti manusia biasa. Sejak ia terbangun dalam mimpi panjang ini, tubuhnya terasa berbeda, lebih kuat, lebih tajam. Ia tidak perlu makan, tidak perlu istirahat. Ia hanya terus ada, terus bergerak.

Saat kereta terus melaju menuju kota, Seferce merasakan sesuatu di kejauhan. Bukan suara, bukan bayangan, tetapi sebuah kehadiran. Sesuatu yang mengawasi mereka.

Mata emasnya menyipit sedikit. Ia tetap diam, tetapi tubuhnya mulai siaga. Jika ada sesuatu yang mencoba mendekat dengan niat buruk, ia akan siap.

***

Di kejauhan, di antara pepohonan yang jarang di bukit berbatu, sekelompok makhluk berdiri dalam bayangan malam. Mata mereka bersinar merah dalam kegelapan, tubuh mereka tinggi dan kurus, dengan cakar panjang yang mencengkeram tanah berbatu, mereka adalah Iblis.

"Vampir..." bisik salah satu dari mereka dengan suara serak. "Bangsawan..."

Pemimpin mereka, makhluk yang sedikit lebih besar dengan mata yang lebih tajam, mengangguk. "Ya... dan bukan sembarang bangsawan. Aku bisa merasakan kekuatannya dari sini."

Salah satu anak buahnya bergidik. "Apakah kita harus mundur? Jika dia sekuat yang kau kira, kita mungkin tidak akan menang dalam pertempuran langsung."

Pemimpin itu menyeringai, taringnya berkilau samar dalam gelap. "Tidak. Kita hanya akan mengawasi untuk sekarang. Jika dia menuju kota manusia, maka kita hanya perlu menunggu. Akan ada saat yang tepat untuk bertindak."

Mereka tetap dalam bayangan, mengamati, menunggu. Malam masih panjang, dan perburuan baru saja dimulai.

***

Fajar akhirnya mulai menyingsing, menggantikan kegelapan malam dengan cahaya keemasan yang hangat. Saat kereta akhirnya mencapai puncak bukit terakhir, Seferce bisa melihat kota manusia pertama yang akan ia kunjungi.

Dari kejauhan, kota itu tampak hidup dan ramai. Dinding batu besar mengelilinginya, dengan menara pengawas yang menjulang di beberapa sudut. Di dalamnya, atap-atap bangunan berbentuk unik berserakan, dan jalan-jalan terlihat sibuk bahkan dari jarak ini. Bendera dengan lambang kerajaan berkibar di atas gerbang utama, menunjukkan bahwa kota ini berada di bawah perlindungan penguasa manusia.

Gondo tersenyum lega saat melihat kota itu. "Akhirnya, kita sampai..."

Seferce tetap diam, tetapi matanya tetap tertuju pada kota itu. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di sana...

-----

Cahaya pagi yang keemasan membanjiri langit, menggantikan sisa-sisa kegelapan malam. Dari puncak bukit terakhir sebelum memasuki kota, Seferce dapat melihat dengan lebih jelas keramaian yang ada di dalamnya. Kota ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Dinding batu raksasa yang mengelilinginya menjulang kokoh, memberikan perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Menara-menara pengawas berdiri gagah di beberapa titik strategis, masing-masing dijaga oleh prajurit manusia yang bersenjata lengkap. Di luar gerbang utama, jalan tanah yang mereka lewati mulai dipenuhi oleh pedagang, petani, dan berbagai pengelana yang datang dan pergi dari kota ini.

Seferce, yang masih duduk di dalam kereta bersama keluarga Gondo, tetap diam memperhatikan pemandangan tersebut. Mata emas dan empat pupil kecilnya berkilau, mencermati setiap detail. Ia bisa melihat para penjaga berbicara dengan beberapa orang yang hendak masuk, memeriksa barang bawaan, dan sesekali mencatat sesuatu di papan kayu besar. Ini adalah pertama kalinya ia melihat sistem semacam ini. Di tempat asalnya, otoritas bukan sesuatu yang perlu ia pikirkan. Sebagai seorang bangsawan vampir, keberadaannya selalu dihormati, dan tak ada yang berani mempertanyakan siapa dirinya.

Namun, di sini, ia hanyalah seorang pengembara asing.

Gondo menoleh ke arah Seferce dan tersenyum. "Kota ini disebut Velharis, salah satu pusat perdagangan terbesar di kerajaan manusia. Anda akan menemukan hampir segala hal di sini—mulai dari makanan, barang langka, hingga informasi." Pria itu tampak bangga saat berbicara tentang kota ini, seolah-olah Velharis adalah rumah keduanya. "Setelah kita masuk, saya bisa mengantar Anda ke tempat penginapan terbaik di kota ini. Atau jika Anda lebih suka, saya bisa mengenalkan Anda kepada beberapa kenalan saya."

Seferce hanya mengangguk singkat. Ia masih belum menentukan apa yang harus ia lakukan begitu memasuki kota. Satu hal yang pasti, ia ingin memahami bagaimana manusia hidup, bagaimana mereka berinteraksi, dan yang terpenting—seberapa jauh dunia ini berbeda dari realitas yang ia tinggalkan.

Saat kereta mulai bergerak mendekati gerbang, mereka segera dihentikan oleh seorang penjaga. Pria itu bertubuh tinggi dengan armor logam sederhana yang sudah terlihat usang akibat bertahun-tahun digunakan. Di belakangnya, beberapa prajurit lain bersiaga, mengawasi setiap orang yang ingin masuk.

"Nama dan tujuan kalian?" suara penjaga itu berat dan tegas.

Gondo segera merespons dengan senyum ramah. "Kami hanyalah pedagang yang baru kembali dari perjalanan. Nama saya Gondo Liamelda, dan ini istri saya, Sifiel, serta putri kami, Fiel. Oh, dan ini..." Gondo menoleh ke arah Seferce, sedikit ragu sebelum melanjutkan, "... seorang pengembara yang menyelamatkan kami dari serangan bandit di perjalanan. Kami membawanya ke kota sebagai tanda terima kasih."

Mata penjaga itu menyipit saat ia menatap Seferce, menilai pemuda berambut putih keperakan itu dengan cermat. Dari penampilannya, Seferce memang terlihat berbeda dari kebanyakan manusia. Rambut dan matanya saja sudah cukup mencolok, belum lagi auranya yang terasa... lain.

"Nama Anda?" tanya penjaga itu, masih dengan nada tegas.

Seferce menatap pria itu tanpa ekspresi sebelum akhirnya menjawab, "Seferce."

"Seferce apa?"

Seferce terdiam sejenak. Ia tahu bahwa di dunia manusia, nama keluarga adalah sesuatu yang penting. Namun, ia tidak yakin apakah menyebut nama keluarganya adalah pilihan yang bijak.

"Hanya Seferce," jawabnya akhirnya.

Penjaga itu tampak tidak puas, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh. Setelah mencatat sesuatu di papan kayunya, ia memberi isyarat agar kereta bisa masuk.

"Selamat datang di Velharis. Jangan buat masalah."

Saat kereta melewati gerbang kota, Seferce bisa merasakan hiruk-pikuk kehidupan manusia di sekitarnya. Jalanan berbatu yang sempit dipenuhi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Pedagang berteriak menawarkan dagangan mereka, anak-anak berlarian dengan tawa riang, sementara para petarung dan petualang dengan berbagai jenis senjata terlihat berjalan dengan percaya diri, seolah-olah mereka adalah bagian dari lanskap alami kota ini.

Bangunan di Velharis sebagian besar terbuat dari batu dan kayu, dengan atap yang menjulang tinggi dan jendela-jendela kecil yang berjejer rapi. Beberapa gang sempit terlihat di antara bangunan-bangunan ini, menyiratkan bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik jalan utama yang ramai.

Gondo menepuk bahu Seferce dengan ringan. "Mari kita ke penginapan dulu. Setelah itu, jika Anda ingin berjalan-jalan, saya bisa memberi tahu Anda tempat-tempat yang layak dikunjungi."

Seferce hanya mengangguk, tetapi matanya tetap menjelajahi kota dengan penuh ketertarikan. Ada sesuatu tentang tempat ini yang terasa... nyata. Tidak seperti bagian lain dari mimpi panjangnya. Apakah ini hanya ilusi lain? Atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam yang harus ia temukan di sini?

Saat kereta berhenti di depan sebuah penginapan besar dengan papan kayu bertuliskan "The Silver Hawk Inn", Seferce turun dari kereta dan menghirup udara kota. Ia bisa mencium berbagai aroma—makanan, asap kayu, dan bahkan bau besi dari pandai besi yang bekerja di kejauhan.

Dunia manusia ini, meskipun tampak sederhana, memiliki daya tariknya sendiri.

Tanpa banyak bicara, Seferce melangkah masuk ke penginapan, tanpa menyadari bahwa di sudut-sudut bayangan kota, mata-mata telah mengawasinya sejak ia melangkah melewati gerbang...

------

— To be continued

More Chapters