Dalam Ruangan Di Kamar Seferce, Seferce Telah Mengamati Para Iblis Yang Mengikutinya, Dengan Matanya Mudah Untuk Melihatnya Tanpa Membuka Mata, Dan Dia Bisa Melihat Menembus Tembok.
Seferce mengambil jubahnya, mengenakannya dengan gerakan santai seolah tidak ada bahaya yang mengintai. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya bekerja dengan cepat. Ia telah berada dalam situasi seperti ini berkali-kali. Musuh selalu berpikir mereka bisa menaklukkannya, selalu merasa mereka bisa menjebaknya.
Dan ia selalu membalikkan keadaan.
Ia meninggalkan kamarnya tanpa suara, langkahnya ringan seperti bayangan yang menyelinap di malam hari. Lorong penginapan sepi, hanya suara langkahnya yang nyaris tak terdengar di atas lantai kayu yang tua. Ia tidak menggunakan pintu utama. Itu terlalu mudah ditebak. Sebaliknya, ia menuju ke balkon belakang, memandang jalanan kota yang masih diterangi lentera-lentera kecil.
Velharis adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Selalu ada kehidupan, bahkan di sudut-sudut tergelapnya.
Seferce melompat turun dari balkon tanpa suara, mendarat di atap bangunan di bawahnya dengan lincah. Ia bergerak di antara bayang-bayang, mata emasnya bersinar redup di bawah cahaya bintang.
Ia tahu ke mana harus pergi.
---
Reruntuhan gereja tua itu berdiri di pinggiran kota, dikelilingi oleh pohon-pohon mati yang tampak seperti tangan-tangan kering yang mencakar langit. Dinding batu gereja yang dulu megah kini retak, tertutup lumut dan kegelapan yang menyelimuti tempat itu.
Seferce tidak langsung masuk. Ia berdiri di salah satu atap bangunan di dekatnya, memperhatikan dari kejauhan. Para iblis berkumpul di dalam, energi gelap mereka berkumpul seperti badai yang berputar.
Namun, mereka tidak menyadari sesuatu.
Mereka bukanlah pemburu malam ini.
Tanpa suara, Seferce melompat turun, menyelinap di antara bayangan seperti kabut yang bergerak tanpa bentuk. Ia mendekati gereja tua itu, merasakan hawa panas dari api biru yang menyala di dalamnya. Langkahnya ringan, hampir mustahil didengar bahkan oleh makhluk yang memiliki pendengaran tajam sekalipun.
Dari celah dinding yang retak, ia bisa melihat pemimpin iblis itu berdiri di tengah ruangan, memberi perintah kepada anak buahnya.
"Sebentar lagi dia akan bergerak. Kita buat jebakan di jalan utama—"
Ia tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.
Dalam satu gerakan cepat, Seferce telah masuk ke dalam ruangan. Tidak ada suara. Tidak ada bayangan yang mendahuluinya. Ia muncul begitu saja, seolah-olah bagian dari kegelapan itu sendiri.
Mata-mata iblis melebar. Mereka tidak siap. Tidak ada yang siap.
Dalam sekejap, pemimpin iblis itu bahkan tidak sempat merespons ketika Seferce sudah berada di belakangnya, satu tangan mencengkeram lehernya dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan batu.
"Kau bicara terlalu banyak," kata Seferce dengan suara datar.
Tulang-tulang berderak.
Seferce mencabut nyawa iblis itu dalam satu gerakan cepat, darah hitam muncrat ke tanah yang berdebu. Tubuh pemimpin mereka jatuh dengan suara berdebum, sementara sisanya hanya bisa menatap dengan ngeri.
"Sekarang," kata Seferce, matanya bersinar tajam, "siapa lagi yang ingin mencoba?"
Keheningan menyelimuti ruangan. Beberapa iblis yang lebih kecil mencoba melarikan diri, tetapi sebelum mereka sempat mencapai pintu, Seferce sudah ada di hadapan mereka, memotong jalan keluar dengan kecepatan yang mustahil untuk diikuti mata manusia.
Ia tersenyum tipis. "Terlambat."
Dan malam itu, di gereja tua yang telah lama ditinggalkan, suara jeritan memenuhi udara sebelum akhirnya tenggelam dalam keheningan yang lebih dalam daripada sebelumnya.
---
Saat fajar mulai menyingsing di kota Velharis, Seferce berdiri di atap penginapan, menatap ke cakrawala yang mulai berubah warna. Angin pagi membawa aroma embun, menggantikan bau darah dan kematian yang masih tersisa di pakaiannya.
Ia tahu ini belum selesai.
Akan selalu ada lebih banyak iblis. Akan selalu ada lebih banyak musuh yang ingin menguji kekuatannya.
Tapi ia tidak peduli.
Karena baginya, berburu adalah bagian dari keberadaannya.
Dan ia akan terus berburu, selama masih ada kegelapan yang mencoba mengancamnya.
-----
Matahari masih berada di bawah cakrawala ketika Seferce melangkah perlahan keluar dari penginapan. Udara pagi di Velharis masih dingin, dengan kabut tipis yang menggantung di sepanjang jalan. Kota itu masih setengah tertidur, hanya beberapa orang yang mulai beraktivitas—pedagang yang bersiap membuka toko mereka, penjaga kota yang berjalan perlahan di sepanjang tembok dengan obor di tangan, dan beberapa pengemis yang masih meringkuk di sudut-sudut gang.
Seferce menarik napas pelan. Aroma tanah lembap, asap kayu yang terbakar, dan bau asin dari sungai di dekat pelabuhan bercampur menjadi satu, menciptakan kesan khas dari kota yang telah berusia ratusan tahun ini.
Ia mulai berjalan tanpa tujuan tertentu, menyusuri jalanan berbatu yang masih sepi. Langkahnya tenang, tetapi setiap gerakannya penuh kewaspadaan. Meskipun ia telah menghabisi para iblis yang mengintainya di gereja tua malam sebelumnya, ia tahu itu belum berakhir. Mereka hanyalah pion, bukan dalangnya.
Dan Seferce tidak menyukai permainan yang setengah-setengah.
---
Ia berjalan ke distrik dagang, di mana toko-toko mulai membuka pintu mereka. Para pedagang mulai mengeluarkan barang dagangan mereka—buah segar, kain berwarna-warni, rempah-rempah yang harum memenuhi udara. Namun, yang menarik perhatian Seferce bukanlah hiruk-pikuk perdagangan, melainkan seseorang yang berdiri di ujung jalan, mengawasinya dengan tatapan tajam.
Sosok itu tinggi dan kurus, mengenakan jubah hitam yang terlihat mencolok di antara warna-warna cerah pasar. Rambutnya abu-abu keperakan, dan matanya berwarna merah darah—bukan merah seperti mata iblis, tetapi sesuatu yang lebih manusiawi, meskipun tetap asing.
Seferce melanjutkan langkahnya, berpura-pura tidak memperhatikan. Namun, begitu ia melewati sudut gang, ia berbelok cepat, menghilang ke dalam bayangan. Dengan kecepatan yang tidak mungkin dikejar manusia biasa, ia sudah berada di belakang pria itu sebelum yang bersangkutan menyadarinya.
"Mengikutiku sejak kapan?" tanya Seferce dengan suara datar.
Pria itu tidak terlihat terkejut. Ia berbalik perlahan, menatap Seferce dengan ekspresi tenang. "Sejak kau menginjakkan kaki di Velharis."
Seferce mengangkat satu alis. "Dan kenapa?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Seferce seakan menilai sesuatu, lalu akhirnya menghela napas. "Karena kau menarik perhatian yang seharusnya tidak kau tarik."
Seferce menyipitkan matanya. "Maksudmu?"
Pria itu melangkah lebih dekat, berbicara dengan suara rendah. "Iblis-iblis itu bukan satu-satunya yang mencarimu. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bergerak di balik bayang-bayang kota ini. Dan jika kau tidak berhati-hati, kau akan terjebak dalam permainan yang lebih besar dari yang kau kira."
Seferce tetap diam, tetapi pikirannya mulai bekerja cepat. Jika yang dikatakan pria ini benar, maka pertarungannya dengan iblis-iblis itu hanyalah permulaan.
Pria itu tersenyum tipis, seolah bisa membaca pikirannya. "Namaku Rhaedon. Aku bisa membantumu memahami apa yang sebenarnya terjadi di kota ini. Tapi itu jika kau bersedia mendengar."
Seferce menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baik. Bicaralah."
---
Mereka berjalan ke sebuah kedai kecil di pinggir distrik dagang, tempat di mana aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Seferce memilih duduk di sudut ruangan, jauh dari pendengaran orang lain. Rhaedon duduk di seberangnya, masih dengan ekspresi tenang yang sulit ditebak.
"Jadi," kata Seferce, "ceritakan dari awal."
Rhaedon mengambil cangkir kopi yang baru saja disajikan, menghirup aromanya sebelum akhirnya berbicara. "Velharis bukan sekadar kota biasa. Ini adalah titik pertemuan antara dunia manusia dan sesuatu yang lebih tua. Ada sesuatu di bawah kota ini, sesuatu yang telah tersegel selama ratusan tahun."
Seferce tetap diam, menunggu Rhaedon melanjutkan.
"Dulu, Velharis adalah tempat di mana para bangsawan kegelapan seperti dirimu menguasai malam. Namun, sesuatu berubah. Sebuah kekuatan yang lebih besar muncul, dan para vampir punah, satu per satu. Yang tersisa hanyalah legenda. Dan sekarang, kau muncul di sini. Vampir terakhir. Tak heran banyak yang tertarik padamu."
Seferce menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap tajam. "Dan kau sendiri? Apa yang kau inginkan dariku?"
Rhaedon tersenyum tipis. "Aku ingin bertahan hidup. Dan untuk itu, aku butuh sekutu yang cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang."
Seferce memiringkan kepalanya sedikit. "Dan apa tepatnya yang akan datang?"
Ekspresi Rhaedon menjadi lebih serius. "Perang. Bukan hanya antara manusia dan iblis, tetapi sesuatu yang lebih besar dari itu. Kau mungkin tidak menyadarinya, tetapi kau adalah bagian dari teka-teki ini. Jika kau tidak berhati-hati, kau akan menjadi bidak dalam permainan yang kau bahkan tidak tahu aturannya."
Seferce menghela napas pelan. Ia tidak suka permainan politik, tetapi ia tahu bahwa dunia tidak sesederhana membunuh musuh dan melanjutkan hidup. Ada kekuatan yang bergerak di balik bayang-bayang, dan ia sekarang berada tepat di tengah pusaran itu.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau begitu, tunjukkan padaku siapa musuh yang sebenarnya."
Rhaedon tersenyum. "Ikutlah denganku. Kita akan mulai dengan sesuatu yang kecil. Tapi pastikan kau siap. Karena begitu kau melangkah ke dalam ini, tidak akan ada jalan kembali."
Seferce hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah suka mundur."
Dan dengan itu, keduanya meninggalkan kedai, melangkah ke dalam bayang-bayang kota yang semakin pekat.
Perburuan yang sesungguhnya baru saja dimulai.
----
Seferce dan Rhaedon melangkah keluar dari kedai, menyusuri jalanan Velharis yang kini mulai ramai. Sinar matahari mulai menyelinap di antara gedung-gedung tua, menciptakan bayangan panjang yang merayap di jalan berbatu. Suara para pedagang, kereta kuda, dan langkah kaki membentuk simfoni khas pagi di kota itu. Namun, di balik keramaian ini, ada sesuatu yang menggelitik insting Seferce—sebuah ketidakberesan yang sulit dijelaskan.
"Ke mana kita pergi?" tanya Seferce, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah pasar.
Rhaedon meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan nada pelan, "Kita akan bertemu seseorang yang tahu lebih banyak tentang pergerakan bayangan di kota ini."
Seferce menahan keinginannya untuk bertanya lebih lanjut. Ia tahu bahwa beberapa jawaban hanya bisa ditemukan dengan mengikuti arus. Mereka berjalan menuju bagian tua kota, tempat di mana jalanan lebih sempit dan bangunan-bangunan semakin terlihat renta. Aroma lembap bercampur dengan bau kayu lapuk dan logam tua. Mata Seferce bergerak cepat, menangkap setiap detail di sekelilingnya.
Saat mereka mencapai sebuah lorong sempit yang hampir tersembunyi di antara dua bangunan tua, Rhaedon berhenti. Ia mengetuk pintu besi berkarat di ujung lorong itu dengan pola tertentu—dua ketukan cepat, satu jeda, lalu satu ketukan pelan.
Hening sejenak.
Kemudian, suara gesekan logam terdengar, dan pintu terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan sepasang mata berwarna kuning keemasan yang menatap mereka dengan curiga.
"Rhaedon? Kau membawa tamu?"
"Dia ada di pihak kita," jawab Rhaedon tanpa ragu.
Mata itu meneliti Seferce sebelum akhirnya pintu terbuka lebih lebar, mengungkapkan seorang wanita berambut hitam panjang dengan pakaian sederhana, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang memancarkan aura bahaya. Matanya tidak hanya menunjukkan kewaspadaan, tetapi juga pengalaman bertahan hidup yang panjang di dunia yang keras ini.
"Masuklah. Kita tidak punya banyak waktu."
Seferce dan Rhaedon melangkah masuk ke dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh beberapa lilin yang berkedip-kedip. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu dipenuhi dengan peta, dokumen, dan berbagai benda aneh yang tidak langsung bisa dikenali.
Wanita itu duduk di salah satu kursi, menyilangkan tangan di dada. "Namaku Lysandra. Aku mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi di bawah kota ini. Dan jika kau memang vampir terakhir seperti yang Rhaedon katakan, maka kau harus tahu bahwa waktumu tidak banyak."
Seferce menatapnya tajam. "Jelaskan."
Lysandra menghela napas sebelum menunjuk ke peta di hadapannya. "Ada sesuatu yang terbangun di bawah kota ini. Para iblis yang kau hadapi hanya permukaan dari kekacauan yang sebenarnya. Ada kepercayaan lama bahwa di bawah Velharis, tersegel sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih berbahaya dari yang pernah kita bayangkan. Beberapa menyebutnya sebagai dewa yang terlupakan, yang lain menyebutnya sebagai mimpi buruk yang tidak boleh bangkit lagi."
Seferce merasakan ketegangan di udara. "Dan apa hubungannya denganku?"
Rhaedon yang menjawab kali ini. "Karena keberadaanmu sendiri adalah anomali. Vampir seharusnya sudah punah. Namun, kau masih hidup. Itu berarti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di balik semua ini. Entah kau adalah ancaman atau bagian dari rencana yang lebih besar, kita belum tahu."
Seferce menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"
Lysandra menyeringai tipis. "Kita pergi ke bawah tanah. Ke tempat di mana semuanya dimulai. Jika kau ingin jawaban, kau harus melihatnya sendiri."
Seferce menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, mari kita turun ke dalam kegelapan."
-------
— To be continued