Cherreads

Chapter 6 - Darkness Shrouds Mystery

Di Sebuah Tempat....

Seferce dan Rhaedon melangkah keluar dari kedai, menyusuri jalanan Velharis yang kini mulai ramai. Sinar matahari mulai menyelinap di antara gedung-gedung tua, menciptakan bayangan panjang yang merayap di jalan berbatu. Suara para pedagang, kereta kuda, dan langkah kaki membentuk simfoni khas pagi di kota itu. Namun, di balik keramaian ini, ada sesuatu yang menggelitik insting Seferce—sebuah ketidakberesan yang sulit dijelaskan.

"Ke mana kita pergi?" tanya Seferce, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah pasar.

Rhaedon meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan nada pelan, "Kita akan bertemu seseorang yang tahu lebih banyak tentang pergerakan bayangan di kota ini."

Seferce menahan keinginannya untuk bertanya lebih lanjut. Ia tahu bahwa beberapa jawaban hanya bisa ditemukan dengan mengikuti arus. Mereka berjalan menuju bagian tua kota, tempat di mana jalanan lebih sempit dan bangunan-bangunan semakin terlihat renta. Aroma lembap bercampur dengan bau kayu lapuk dan logam tua. Mata Seferce bergerak cepat, menangkap setiap detail di sekelilingnya.

Saat mereka mencapai sebuah lorong sempit yang hampir tersembunyi di antara dua bangunan tua, Rhaedon berhenti. Ia mengetuk pintu besi berkarat di ujung lorong itu dengan pola tertentu—dua ketukan cepat, satu jeda, lalu satu ketukan pelan.

Hening sejenak.

Kemudian, suara gesekan logam terdengar, dan pintu terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan sepasang mata berwarna kuning keemasan yang menatap mereka dengan curiga.

"Rhaedon? Kau membawa tamu?"

"Dia ada di pihak kita," jawab Rhaedon tanpa ragu.

Mata itu meneliti Seferce sebelum akhirnya pintu terbuka lebih lebar, mengungkapkan seorang wanita berambut hitam panjang dengan pakaian sederhana, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang memancarkan aura bahaya. Matanya tidak hanya menunjukkan kewaspadaan, tetapi juga pengalaman bertahan hidup yang panjang di dunia yang keras ini.

"Masuklah. Kita tidak punya banyak waktu."

Seferce dan Rhaedon melangkah masuk ke dalam ruangan gelap yang hanya diterangi oleh beberapa lilin yang berkedip-kedip. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu dipenuhi dengan peta, dokumen, dan berbagai benda aneh yang tidak langsung bisa dikenali.

Wanita itu duduk di salah satu kursi, menyilangkan tangan di dada. "Namaku Lysandra. Aku mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi di bawah kota ini. Dan jika kau memang vampir terakhir seperti yang Rhaedon katakan, maka kau harus tahu bahwa waktumu tidak banyak."

Seferce menatapnya tajam. "Jelaskan."

Lysandra menghela napas sebelum menunjuk ke peta di hadapannya. "Ada sesuatu yang terbangun di bawah kota ini. Para iblis yang kau hadapi hanya permukaan dari kekacauan yang sebenarnya. Ada kepercayaan lama bahwa di bawah Velharis, tersegel sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih berbahaya dari yang pernah kita bayangkan. Beberapa menyebutnya sebagai dewa yang terlupakan, yang lain menyebutnya sebagai mimpi buruk yang tidak boleh bangkit lagi."

Seferce merasakan ketegangan di udara. "Dan apa hubungannya denganku?"

Rhaedon yang menjawab kali ini. "Karena keberadaanmu sendiri adalah anomali. Vampir seharusnya sudah punah. Namun, kau masih hidup. Itu berarti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di balik semua ini. Entah kau adalah ancaman atau bagian dari rencana yang lebih besar, kita belum tahu."

Seferce menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menyipit. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"

Lysandra menyeringai tipis. "Kita pergi ke bawah tanah. Ke tempat di mana semuanya dimulai. Jika kau ingin jawaban, kau harus melihatnya sendiri."

Seferce menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, mari kita turun ke dalam kegelapan."

Mereka tidak menyadari bahwa di luar sana, di bayang-bayang yang lebih gelap dari malam, sesuatu telah mulai bergerak. Dan itu tidak akan membiarkan mereka mengungkap rahasianya dengan mudah.

---

Lorong bawah tanah yang dimaksud Lysandra bukan sekadar ruang bawah kota biasa. Akses ke tempat itu disembunyikan dengan sihir kuno, terlindungi oleh segel dan ilusi yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang tahu apa yang dicari. Mereka melewati sebuah ruang belakang toko tua yang sudah lama tutup, lalu turun melalui tangga spiral yang berderit pelan, menuruni puluhan meter ke bawah tanah. Setiap langkah mereka menurunkan suhu udara, dan aroma tanah basah serta batu tua menyelimuti mereka.

Dinding lorong mulai berubah dari batu bata biasa menjadi permukaan hitam mengkilap seperti obsidian yang memantulkan cahaya obor dalam warna aneh. Tulisan kuno terukir di sepanjang dinding, dalam bahasa yang bahkan Seferce tak sepenuhnya kenali, meskipun hatinya terasa bergetar saat melewatinya. Bahasa leluhur. Bahasa dari masa sebelum dunia dibagi antara cahaya dan kegelapan.

"Tempat ini disebut Catacomb Velharn," bisik Lysandra. "Dulu adalah tempat ibadah untuk sesuatu yang sekarang dilupakan bahkan oleh sejarah. Tapi segel-segelnya mulai melemah. Dan kau... kau adalah katalis bagi apa yang tertidur di sini."

"Katalis?" tanya Seferce, langkahnya tak melambat sedikit pun meskipun udara semakin pekat.

"Darahmu," jawab Rhaedon. "Darah bangsawan vampir mengandung elemen yang langka: residu dari kehampaan. Dan tempat ini... terbuat dari kehampaan itu sendiri."

Perkataan itu membuat Seferce terdiam sejenak. Kilasan kehampaan abadi yang ia alami sebelum mimpi ini muncul dalam pikirannya. Sebuah kehampaan yang bukan sekadar kegelapan, melainkan kekosongan absolut. Mungkinkah tempat ini berhubungan dengan tempat itu?

Mereka tiba di sebuah aula raksasa yang berada jauh di perut bumi. Pilar-pilar raksasa menopang langit-langit yang hampir tak terlihat, dan di tengah aula terdapat lingkaran ritual besar yang digoreskan ke lantai dengan simbol-simbol yang menyala samar. Di sekeliling lingkaran, terdapat patung-patung besar yang menyerupai makhluk tak dikenal—setengah manusia, setengah binatang, dan mata kosong yang seolah mengikuti mereka.

Seferce melangkah ke tengah lingkaran. Ia bisa merasakan energi yang berdenyut dari tanah, seperti jantung yang berdetak lambat namun tak terhentikan. Ketika telapak kakinya menyentuh pusat lingkaran, seluruh ruangan bergemuruh.

Sebuah suara terdengar, bukan dari luar, tapi dari dalam pikirannya sendiri.

"Akhirnya, pengembara dari kehampaan... kau datang..."

Tubuh Seferce menegang. Matanya berubah—keempat pupil kecilnya menyala merah darah, dan cahaya emas dari mata utamanya memancar seperti api.

"Apa itu?" desis Lysandra, bersiap menarik senjata.

Rhaedon menatap Seferce, wajahnya pucat. "Dia... sedang beresonansi."

Dalam sekejap, lingkaran ritual menyala terang, dan Seferce tidak lagi berada di dunia nyata. Ia ditarik ke dalam ruang lain, di mana langit bukan langit dan tanah bukan tanah. Segalanya berputar, terdistorsi. Bentuk-bentuk aneh menari di tepi penglihatannya, dan sebuah sosok muncul di hadapannya.

Makhluk itu tinggi, anggun, dan mengerikan. Wujudnya tidak konsisten, berubah-ubah antara manusia, iblis, dan bentuk murni dari kegelapan. Namun, matanya—enam bola mata keemasan—menatap langsung ke dalam jiwa Seferce.

"Kau adalah kunci. Bukan karena kekuatanmu, tapi karena asalmu. Kau berasal dari kehampaan, dan hanya yang berasal dari kehampaan yang dapat membuka kembali gerbang ini."

Seferce berusaha berbicara, tapi suaranya tenggelam.

"Aku menunggumu. Aku adalah yang tertidur. Aku adalah sisa dari dunia sebelum dunia. Dan sekarang, darahmu akan menjadi jembatan."

Cahaya menyilaukan menyelimuti segalanya. Dan ketika Seferce tersadar, ia kembali berdiri di dalam aula, napasnya berat, tubuhnya gemetar.

Lysandra mendekat. "Apa yang kau lihat?"

Seferce menatapnya dengan mata yang kini dipenuhi kilatan tak manusiawi. "Bukan apa... tapi siapa. Dan dia... sudah menungguku."

Rhaedon menggenggam bahu Seferce. "Lalu apa yang akan kita lakukan?"

Seferce mengangkat wajahnya, menatap langit-langit kegelapan di atas. "Kita bersiap. Karena ini bukan hanya tentang iblis, bukan hanya tentang kota ini. Ini tentang dunia. Dan jika mereka membuka gerbang itu... semuanya akan berakhir."

Suaranya tenang, tetapi setiap kata mengandung keputusan. Perang telah dimulai, dan Velharis hanyalah medan pembuka.

Dan Seferce, sang pengembara dari kehampaan, tidak akan membiarkan dunia ini jatuh tanpa perlawanan.

-----

Keluar dari catacomb, tubuh Seferce masih memancarkan sisa-sisa energi yang ia serap dari resonansi sebelumnya. Urat-urat sihir samar mengalir di bawah kulitnya, bercahaya samar hanya dalam gelap. Langkahnya mantap, namun setiap gerakan terasa berat, seolah dunia sendiri menekan eksistensinya. Lysandra dan Rhaedon berjalan dalam diam di belakangnya, menyadari bahwa mereka kini terlibat dalam konspirasi jauh lebih besar dari yang pernah mereka perkirakan.

Mereka kembali ke markas rahasia Lysandra—tempat mereka pertama bertemu—dan mengunci pintu di belakang mereka. Lampu-lampu sihir dinyalakan, memberikan cahaya lembut ke seluruh ruangan.

"Apa yang kita hadapi sebenarnya, Seferce?" tanya Lysandra akhirnya.

Seferce menoleh perlahan, matanya menatap kosong sebelum perlahan-lahan menajam, fokus. "Dia... bukan dewa. Dia adalah eksistensi sebelum konsep Tuhan diciptakan. Sebuah kehendak purba. Aku pikir aku bermimpi ketika aku terjebak di kehampaan. Tapi itu bukan mimpi. Itu adalah dunia-Nya. Dan dia menginginkan jalan kembali ke dunia ini."

Rhaedon menarik napas dalam. "Apa motifnya? Mengapa dia ingin kembali?"

"Karena di dunia ini, ada kehidupan. Ada energi. Ada... sesuatu yang bisa dikendalikan. Kehampaan adalah kekosongan. Dia ingin mengisi kekosongan itu dengan dunia kita. Dan untuk itu, dia butuh aku sebagai pintu."

Lysandra berdiri tegak, menatap dua pria di hadapannya. "Kalau begitu, kita harus menutup pintu itu sebelum dia sempat melewatinya."

Seferce mengangguk. Tapi di dalam hatinya, dia tahu—apa pun yang datang selanjutnya, tidak akan semudah itu.

---

Malam tiba dengan cepat di Velharis, seolah kota itu sendiri berusaha menutupi apa yang telah terbangun di bawah perutnya. Awan pekat menggantung rendah, menggulung seperti pusaran kegelapan yang menyelimuti langit. Di atas menara-menara batu, para penjaga kota mulai menyalakan lentera-lentera sihir yang menimbulkan bayangan aneh di balik tembok.

Di balik salah satu jendela tua di distrik barat, Seferce duduk bersila di tengah lingkaran sihir yang dibentuk Lysandra. Di sekelilingnya, rune-rune kuno berpendar dalam cahaya ungu yang tenang namun mengandung bahaya. Rhaedon berdiri tidak jauh, membaca dari lembaran teks kuno yang diambil dari perpustakaan bawah tanah yang dirahasiakan oleh ordo-ordo sihir kuno. Lysandra mengatur batu-batu fokus energi di empat penjuru ruangan, menciptakan medan stabil bagi sihir tingkat tinggi yang hendak mereka bangkitkan.

Tujuan mereka malam ini bukan sekadar bertahan. Mereka harus mencari tahu siapa yang—selain makhluk purba itu—sedang menarik benang-benang kekacauan di dalam bayang-bayang kota. Karena berdasarkan informasi terbaru yang ditemukan Lysandra dari pengintainya, iblis-iblis yang terlihat di kota hanyalah bagian dari jaringan konspirasi yang lebih luas.

"Dia memiliki pengikut," kata Lysandra dengan suara rendah, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan yang mulai turun di luar. "Mereka menyebut diri mereka Ordo Delirium. Kumpulan manusia, setengah iblis, dan makhluk transenden yang percaya bahwa dunia harus dikembalikan ke bentuk aslinya—sebelum cahaya, sebelum waktu. Mereka percaya bahwa entitas yang bersemayam di kehampaan adalah Sang Asal, dan bahwa segala sesuatu yang hidup adalah penyimpangan dari kebenaran."

Rhaedon mengernyit. "Ideologi seperti itu... hanya bisa lahir dari keputusasaan atau kegilaan."

"Atau dari mereka yang telah menyentuh kehampaan itu sendiri dan tidak pernah kembali sebagai makhluk yang sama," balas Seferce pelan.

Ia membuka matanya. Cahaya dalam iris-iris matanya kini telah berevolusi, seperti kosmos yang terbuka di dalam dirinya. Pupil utamanya berwarna emas pekat, tetapi empat pupil kecilnya berubah warna mengikuti emosi dan resonansi energi: dua atas berpendar biru saat dia memusatkan konsentrasi, dan dua bawah merah ketika tubuhnya mengingat trauma kehampaan.

"Kita harus menyusup ke dalam ordo itu," ujar Seferce.

Rhaedon menatapnya seakan ia gila. "Kau ingin masuk ke sarang ular dan berharap tidak dipatuk?"

"Kita tidak bisa menghancurkan apa yang tidak kita pahami," jawab Seferce. "Dan aku... aku merasa terhubung dengan mereka. Seolah sebagian dari diriku sudah tahu jalan ke sana."

Lysandra menatap keduanya, lalu mengangguk perlahan. "Maka kita akan menyusun identitas palsu, menciptakan backstory yang cocok dengan pola rekrutmen mereka. Tapi kita harus bergerak cepat. Aku dengar mereka tengah mempersiapkan ritual besar dalam waktu tujuh malam."

"Apa yang akan mereka panggil?" bisik Rhaedon.

"Bukan mereka yang memanggil," kata Seferce, matanya gelap. "Mereka yang akan menjadi pintu untuk dipanggil masuk."

---

Tiga malam kemudian, Seferce—dengan identitas baru sebagai 'Kael, anak kegelapan'—berhasil mendapatkan akses ke salah satu cabang Ordo Delirium. Bersama Lysandra, yang menyamar sebagai pengembara yang menguasai ritual darah kuno, mereka menghadiri pertemuan tersembunyi di reruntuhan kuil tua di luar batas Velharis.

Di sana, mereka melihat realitas yang terdistorsi. Orang-orang yang seharusnya mati berjalan di antara yang hidup. Wajah-wajah yang seakan tidak lagi milik manusia. Dan seorang pemimpin yang tidak pernah mengangkat suara, namun keberadaannya membuat udara terasa seperti serpihan kaca.

"Dialah Pendeta Retakan," bisik Lysandra, matanya menyipit. "Orang pertama yang selamat setelah menyentuh inti kehampaan. Tubuhnya... tidak lagi hidup. Tapi juga tidak mati."

Malam itu, mereka menyaksikan ritual pengorbanan bukan dengan darah, melainkan dengan ingatan. Para anggota ordo menyerahkan fragmen kenangan mereka ke dalam altar retakan dimensi, dan sebagai gantinya, mereka diberi 'pencerahan'—semacam kemampuan melihat masa depan yang terdistorsi, namun terkadang benar.

Ketika giliran Seferce, altar bergetar.

"Darah ini... bukan milik manusia," bisik Pendeta Retakan, dan semua ritual berhenti seketika.

Ketegangan mencengkeram ruangan seperti tangan dingin tak kasat mata.

Seferce menatap langsung ke altar yang bersinar, dan dengan suara lembut namun tak terbantahkan, ia berkata:

"Aku bukan manusia. Aku adalah bayangan dari bayangan. Aku adalah kunci yang kalian cari. Dan jika kau ingin membuka pintu itu... kau harus melewatiku lebih dulu."

Seketika, ruangan runtuh ke dalam dirinya sendiri, dan pertempuran sihir dan kehendak pun meledak dalam ruang di luar ruang. Energi dari kehampaan merembes masuk, memutarbalikkan kenyataan, mengubah lantai menjadi kabut, dinding menjadi gelombang cahaya hitam yang menggulung seperti laut amarah.

Lysandra mengaktifkan segel pelindung di pergelangan tangannya, menciptakan medan energi stabil yang menjaga pikirannya tetap utuh. Rhaedon, dengan mantra-mantra perang yang dipelajarinya selama bertahun-tahun, menciptakan bilah cahaya untuk memotong entitas bayangan yang muncul dari celah-celah waktu.

Tapi pusat dari semuanya adalah Seferce.

Ia tidak menggunakan sihir. Ia tidak menggunakan kekuatan fisik. Ia berdiri di tengah pusat distorsi itu, dan dengan hanya membuka matanya—keempat pupilnya bersinar serempak—ia menarik semua kekacauan kembali ke dalam dirinya. Ia menjadi titik stabil, kutub diam dalam badai eksistensi.

Pendeta Retakan berteriak, suara tanpa mulutnya memecah dunia, "KAU TIDAK SEHARUSNYA ADA!"

Dan Seferce menjawab, "Aku tidak ada. Aku adalah kehampaan yang diberi nama."

Dengan satu gerakan tangan, Seferce memecah altar itu menjadi serpihan cahaya. Retakan dimensi menutup paksa, dan semua anggota ordo yang belum cukup kuat runtuh dalam jeritan, lenyap menjadi abu dimensi.

Hening.

Mereka bertiga berdiri di tengah reruntuhan kuil. Tubuh Seferce gemetar, bukan karena lelah, tapi karena ada sesuatu di dalam dirinya... yang mulai bangkit.

Lysandra mendekat, tetapi sebelum ia sempat menyentuh bahunya, Seferce berkata dengan suara sangat pelan, "Aku mendengarnya lagi. Dia memanggilku... tapi sekarang... dia bukan satu-satunya."

Rhaedon menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"

Seferce menatap langit malam yang kini terbuka seperti lubang luka di angkasa.

"Ada... entitas lain. Satu yang bahkan dia tak bisa kendalikan. Dan aku... aku terhubung dengan keduanya."

Langit terbelah. Kilatan merah yang tak berasal dari matahari menyinari malam.

Dan suara... suara ketiga... mulai berbicara ke dalam pikiran mereka.

"SEFERCE... APAKAH KAU INGAT NAMA ASLIMU?"

Mereka bertiga terdiam.

Karena Seferce... tidak bisa menjawab.

Langit terbelah.

Kilatan merah yang tak berasal dari matahari menyinari malam, menari di antara awan seperti lidah petir yang tidak pernah padam. Warna langit berubah menjadi abu kelabu bercampur merah darah, seperti kain yang telah dicelup dalam kehancuran. Di bawahnya, dunia masih terdiam. Tapi bukan karena damai—melainkan karena dunia menahan napasnya.

"SEFERCE... APAKAH KAU INGAT NAMA ASLIMU?"

Suara itu tidak datang dari luar. Tidak melalui telinga, tidak melalui udara. Suara itu muncul langsung dalam setiap sel tubuh, dalam ingatan yang bahkan belum terukir, dalam kenangan yang belum pernah terjadi. Itu bukan hanya pertanyaan—itu adalah kunci.

Seferce terdiam.

Di hadapannya, Rhaedon menatapnya dengan wajah yang tidak lagi menyembunyikan rasa takut. Lysandra menggenggam liontin pelindungnya erat-erat, merasakan sihir pelindung di sekeliling tubuhnya mulai goyah karena sesuatu yang tidak bisa didefinisikan.

"Seferce," kata Rhaedon pelan, "siapa yang berbicara denganmu?"

Seferce tidak menjawab.

Matanya tertutup, dan di dalam pikirannya, ia jatuh.

---

Bayangan menggulung seperti gelombang tinta.

Ia berada di tempat yang tidak mengenal arah. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Hanya pusaran keberadaan tanpa bentuk yang mengalir seperti sungai dari bintang-bintang mati. Di tengah kekacauan itu, ada pintu. Pintu hitam dengan ukiran berbahasa purba yang bahkan Seferce tidak kenali.

Ia menyentuh gagangnya.

Dan tiba-tiba ia berada dalam tubuh yang bukan tubuhnya.

---

Seferce berdiri di tengah istana yang bersinar seperti kristal hitam. Ruangan itu tak berujung, seolah dinding-dindingnya dibentuk oleh gema dari realitas lain. Di singgasana yang terbuat dari tulang-tulang iblis, duduk seorang pria—atau sesuatu yang menyerupai pria—berpakaian jubah yang berkibar meskipun tidak ada angin. Matanya delapan, masing-masing menyala dengan warna berbeda: emas, perak, merah, biru, hitam, putih, ungu, dan hijau.

"Akhirnya... kau kembali."

"Siapa kau?" tanya Seferce. Suaranya bergema seribu kali.

Makhluk itu berdiri. Suaranya dalam dan tenang, mengalun seperti nyanyian pemakaman.

"Aku adalah kau. Aku adalah apa yang tersisa darimu saat kau memilih untuk melupakan. Aku adalah bayangan yang kau buang ke kehampaan agar kau bisa 'bermimpi' menjadi makhluk biasa."

Seferce melangkah mundur. "Tidak mungkin... Aku... Aku Seferce."

"Itu bukan namamu. Itu nama yang kau ambil di dalam mimpi. Nama aslimu adalah..."

Seketika, dunia meledak dalam cahaya.

---

Tubuh Seferce terjatuh.

Ia bangun di tanah, napasnya terengah-engah, tubuhnya berkeringat seperti baru keluar dari medan perang. Di sekelilingnya, Velharis dalam kekacauan. Bangunan terbakar, orang-orang berteriak, makhluk bayangan berkeliaran. Rhaedon dan Lysandra berdiri di atas reruntuhan menara, melawan segerombolan iblis yang muncul dari retakan-retakan dimensi.

Seseorang telah membuka pintu.

Dan itu bukan Seferce.

"SEFERCE!" teriak Lysandra. "Bangun! Kau harus menutup gerbang itu!"

Tapi Seferce tidak bergerak. Ia tidak bisa. Di dalam dirinya, nama itu—nama aslinya—telah disebut.

"Kael'Zurath."

Suara itu adalah miliknya sendiri. Tapi juga bukan.

Ia mengingat semuanya. Ia bukan hanya seorang bangsawan vampir. Ia adalah entitas hibrida, dilahirkan dalam dimensi antara waktu dan kehampaan. Ia adalah penjaga pintu, tetapi juga anak dari dua entitas primordial: Sang Pemahat Realitas dan Sang Penjaga Kehampaan.

Seferce—atau Kael'Zurath—adalah makhluk yang pernah membuat perjanjian untuk membelah jiwanya menjadi dua, agar bisa menyeimbangkan kekacauan. Bagian manusianya lah yang menjalani mimpi ini. Tapi sekarang... semuanya telah kembali.

Kota Velharis menjadi medan perang.

Langit menyala merah, tanah pecah seperti kaca, dan retakan-retakan hitam merayap seperti akar. Para anggota Ordo Delirium melantunkan mantra pemanggilan, darah dan kenangan mereka digunakan untuk memanggil bentuk-bentuk yang tak bisa dijelaskan dari luar alam.

Seferce berdiri.

Tubuhnya berubah.

Sayap-sayap kehampaan muncul dari punggungnya—bukan bulu, bukan kulit, melainkan jalinan dari ketiadaan. Matanya bersinar menyilaukan. Suara-suara dari dimensi lain berbicara melalui mulutnya.

"DUNIA INI TIDAK AKAN MENJADI KORBANNYA."

Ia terbang.

Bergabung dengan Lysandra dan Rhaedon. Mereka membentuk segel tiga sisi, dan mulai melawan entitas yang muncul: Azulath, Sang Penyeleksi—makhluk penjaga ambang yang lahir dari kehendak Ordo.

Pertempuran berlangsung dalam dimensi waktu yang patah.

Serangan Seferce mengoyak waktu itu sendiri, menunda kematian, mempercepat gerakan, membalikkan serangan. Lysandra memanggil roh-roh kuno, membuat tulang-tulang para penjaga kota yang telah gugur bangkit kembali. Rhaedon, dengan kekuatan pikiran, membengkokkan medan sihir untuk memantulkan mantra lawan.

Tapi Azulath... tidak sendiri.

Dari balik langit, muncul siluet lain. Lebih besar. Lebih tua.

Entitas Ketiga.

Bahkan Sang Kehampaan pun pernah takut padanya.

Dan ia... tertarik pada Kael'Zurath.

"KAU SUDAH MENYATUKAN DIRIMU... DAN ITU ADALAH AWAL DARI AKHIR."

Semua runtuh dalam sekejap.

---

Seferce bangun dalam kegelapan.

Ia tidak tahu di mana ia berada. Tapi ia tahu... ia sendirian.

Di kejauhan, suara langkah kaki mendekat.

Seseorang... atau sesuatu... berbicara dengan suara penuh teka-teki.

"Kael'Zurath... sekarang saatnya kau memilih... menjadi pintu... atau menjadi kunci."

Dan dunia di sekelilingnya mulai membentuk kembali, bukan berdasarkan hukum fisika atau sihir... tapi berdasarkan pilihannya.

------

— To be continued

More Chapters