Cherreads

Chapter 4 - Demon to the Darkness From Death

Seferce melangkah masuk ke dalam penginapan, "The Silver Hawk Inn". Aroma kayu tua bercampur asap perapian menyambutnya, bercampur dengan bau makanan yang baru saja disajikan. Di dalam ruangan yang diterangi cahaya lentera, beberapa pengunjung sedang menikmati hidangan mereka, berbicara dengan suara rendah, atau sekadar duduk menikmati minuman mereka. Ada para petualang dengan baju besi dan pedang mereka, pedagang yang berbicara dengan penuh semangat, serta beberapa orang yang tampaknya sedang mengamati sekitar dengan penuh kewaspadaan.

Namun, begitu Seferce melangkah masuk, ruangan itu terasa sedikit sunyi. Beberapa orang menoleh, memperhatikan sosoknya dengan tatapan campuran antara penasaran dan ketidaknyamanan. Rambut Putih Keperakan yang jatuh hingga bahunya, mata emas bercahaya dengan empat pupil kecil, serta aura yang memancarkan keanggunan dan kekuatan, membuatnya tampak mencolok bahkan di antara kerumunan orang-orang kasar di dalam penginapan itu.

Gondo tampak tidak terlalu memperhatikan perubahan suasana itu. Ia segera menghampiri pemilik penginapan, seorang pria tua dengan perut buncit dan janggut yang memenuhi wajahnya. "Seperti biasa, kami ingin satu kamar keluarga. Dan untuk tamu kami..."

Seferce menoleh ke arah pemilik penginapan. Pria tua itu menatapnya dengan sedikit rasa takut, tetapi ia berusaha tetap bersikap profesional. "Tentu... kami punya kamar yang layak untuk pengembara."

Seferce mengeluarkan sebuah koin emas dan meletakkannya di atas meja kayu yang sudah mulai lapuk. "Aku butuh kamar yang sunyi dan jauh dari gangguan."

Pemilik penginapan menelan ludah. "Tentu, tentu! Kami punya kamar di lantai atas, di ujung koridor. Itu cukup jauh dari keramaian."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Seferce mengambil kunci yang diberikan dan berjalan menuju tangga, meninggalkan Gondo dan keluarganya yang masih berbincang dengan pemilik penginapan. Saat ia menaiki anak tangga, ia masih bisa merasakan tatapan orang-orang di bawah, seakan mereka mencoba menilai siapa dirinya.

---

Di dalam kamar yang diberikan kepadanya, Seferce berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke kota Velharis yang perlahan mulai tenggelam dalam kegelapan malam. Lampu-lampu lentera mulai menyala di sepanjang jalan, menerangi kota yang tetap sibuk bahkan saat matahari telah terbenam. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bagaimana manusia menjalani kehidupan mereka—tanpa rasa takut akan makhluk yang bersembunyi di kegelapan, tanpa memahami bahwa dunia mereka lebih rapuh daripada yang mereka kira.

Namun, ada sesuatu yang lain.

Seferce bisa merasakan kehadiran di luar sana. Sesuatu yang telah mengikutinya sejak perjalanan menuju kota ini. Mata emasnya menyipit. Ia sudah terbiasa dengan tatapan rasa ingin tahu dari manusia, tetapi ini berbeda. Ada niat tersembunyi di balik kehadiran ini.

"Iblis..."

Ia tidak bisa melihat mereka, tetapi ia tahu mereka ada di luar sana. Mengawasi, menunggu.

Mereka bukanlah makhluk biasa. Tidak seperti monster atau hewan yang akan tunduk secara alami pada darah bangsawan vampir, iblis memiliki keinginan sendiri. Mereka tidak patuh, tidak tunduk, dan sering kali berbahaya jika dibiarkan bergerak bebas. Fakta bahwa mereka tertarik padanya hanya bisa berarti satu hal—mereka menganggapnya sebagai ancaman, atau sebagai target.

Seferce berbalik dan duduk di tepi tempat tidur, tangannya bertaut di atas lutut. Ia bisa menyerang mereka sekarang, memburu mereka di bayang-bayang kota sebelum mereka bertindak lebih jauh. Namun, ia juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya mereka rencanakan.

Ia memutuskan untuk menunggu.

---

Seferce masih duduk di tepi ranjangnya, mata emasnya menatap ke luar jendela dengan penuh kewaspadaan. Malam di Velharis telah mencapai puncaknya, dengan langit yang pekat tanpa cahaya bulan. Kota ini mungkin masih terjaga, tetapi ada sesuatu di luar sana yang jauh lebih waspada dari manusia biasa. Seferce tidak bisa melihat mereka, tetapi ia bisa merasakannya dengan jelas.

"Iblis... mereka belum bergerak."

Dia menghela napas pelan. Bukan karena lelah, tetapi karena kesabaran mereka menunjukkan satu hal: mereka bukan iblis rendahan yang bertindak impulsif. Mereka memiliki rencana.

Seferce berdiri, berjalan menuju meja kayu kecil di sudut kamar, lalu menuangkan air dari kendi ke dalam gelas kaca yang sudah berdebu. Ia tidak benar-benar membutuhkan air, tetapi ia ingin mencoba memahami kehidupan manusia lebih jauh—kebiasaan, kelemahan, dan sistem mereka. Tangannya terangkat perlahan, menatap pantulan samar wajahnya dalam air.

Bangsawan vampir. Penguasa kegelapan.

Namun, di tempat ini, ia hanya seorang pengembara tanpa nama. Seorang asing di dunia yang bukan miliknya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki di lorong menarik perhatiannya. Langkah itu ringan, hampir tidak terdengar, tetapi terlalu teratur untuk disebut kebetulan. Seferce menaruh gelasnya dan menajamkan pendengarannya.

Langkah itu berhenti di depan pintunya.

Keheningan menggantung di udara.

Kemudian, ada suara ketukan. Pelan, tapi teratur. Tiga kali.

Seferce tidak segera merespons. Ia hanya berdiri, membiarkan ketegangan mengisi udara. Pintu itu tidak memiliki celah untuk mengintip, tetapi ia bisa mencium sesuatu dari baliknya. Sesuatu yang bukan manusia.

Aroma sulfur.

Iblis.

Seferce mengangkat tangannya perlahan, ujung jarinya menyentuh pegangan pintu. Ia tidak membuka, tetapi ia berbicara dengan suara datar.

"Jika kau mencari kematian, kau hanya perlu masuk."

Tidak ada jawaban. Hanya keheningan panjang sebelum langkah kaki itu menjauh, menghilang ke dalam gelapnya lorong.

Seferce menunggu sejenak sebelum membuka pintunya perlahan. Lorong kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Tetapi jejak aura iblis masih tersisa, samar dan dingin.

Mereka sedang menguji. Mengukur reaksinya.

Seferce menggeleng pelan. "Mereka ingin aku bergerak lebih dulu."

Namun, ia tidak akan jatuh dalam permainan mereka. Jika iblis-iblis itu berpikir ia hanyalah target biasa, maka mereka akan belajar bahwa berburu bangsawan vampir adalah kebodohan terbesar yang pernah mereka lakukan.

---

Di tempat lain, di bagian tergelap kota Velharis, sekelompok iblis berkumpul di dalam reruntuhan gereja tua yang telah lama ditinggalkan. Api biru redup menyala di tengah ruangan, menerangi wajah-wajah mereka yang penuh dengan kejahatan. Pemimpin mereka, iblis yang lebih besar dengan tanduk patah di kepalanya, menatap anak buahnya dengan ekspresi dingin.

"Dia tahu kita ada di sini," katanya, suaranya dalam dan bergetar oleh energi gelap.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Salah satu iblis yang lebih kecil bertanya, matanya yang merah menyala penuh ketegangan.

Pemimpin itu menyeringai, memperlihatkan gigi hitamnya yang tajam. "Kita tunggu. Kita buat dia merasa aman. Biarkan dia berpikir kita hanya pengintai tanpa rencana. Lalu... saat waktunya tepat, kita jatuhkan neraka di atas kepalanya."

Iblis-iblis lain mengangguk, beberapa di antaranya tertawa pelan, penuh kegembiraan yang jahat.

"Dan bagaimana jika dia lebih kuat dari yang kita kira?" Tanya salah satu dari mereka dengan ragu.

Pemimpin itu hanya menatapnya dengan tatapan menusuk. "Tidak ada makhluk yang tak bisa dihancurkan. Bahkan bangsawan vampir pun memiliki kelemahan."

---

Kembali di penginapan, Seferce berdiri di ambang jendela, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang semakin berkembang.

Iblis tidak akan berhenti. Mereka tidak akan mundur. Itu artinya, pada akhirnya, pertempuran tak bisa dihindari.

Tapi pertanyaannya bukan apakah ia akan bertarung.

Pertanyaannya adalah kapan ia akan mulai berburu.

Seferce tersenyum tipis. Matanya berkilau dalam gelap. Jika iblis-iblis itu mengira mereka bisa mengendalikan permainan ini, mereka telah salah besar.

Ia akan menunjukkan kepada mereka mengapa bangsawan vampir bukan makhluk yang bisa dijadikan target dengan mudah...

------

— To be continued

More Chapters