Musim semi telah tiba.
Bunga-bunga kecil bermekaran di sekitar rumah keluarga Ashkar. Burung-burung berkicau riang, dan matahari bersinar hangat. Drevyn, yang kini sudah bisa berjalan cukup lancar, menjadi semakin aktif dan penasaran. Ia kerap bermain di halaman rumah, mengejar kupu-kupu atau sekadar menatap langit biru dengan takjub.
Gerald, sang ayah, sering mengajaknya ke ladang untuk sekadar duduk di bawah pohon dan melihat tanaman-tanaman yang sedang tumbuh. Sedangkan Elena, sang ibu, akan mengajaknya ke pasar desa pada akhir pekan. Mereka bertiga tampak seperti keluarga yang sempurna di mata orang-orang.
Namun, tak selamanya hari terasa hangat.
Suatu malam, angin berembus lebih kencang dari biasanya. Hujan turun deras, petir sesekali menyambar di kejauhan. Dan saat pagi menjelang, Elena menyadari bahwa tubuh kecil Drevyn terasa panas.
"Gerald... dia demam," ucapnya panik.
Gerald segera mengambil kain basah untuk menurunkan panas tubuh anak mereka, sementara Elena menggenggam tangan Drevyn yang terasa sangat hangat. Drevyn hanya bisa mengerang pelan, napasnya berat dan tubuhnya lemas. Dunia di sekitarnya seperti berputar.
Dalam pikirannya yang kabur, Drevyn bergumam dalam hati. Sial… aku lupa… tubuh bayi itu rentan, ya… padahal cuma kehujanan sedikit waktu pulang kemarin...
Hari itu terasa panjang bagi keluarga Ashkar. Elena terus berada di sisi tempat tidur, tak tidur sedikit pun. Ia menyanyikan lagu pelan-pelan, berharap anaknya tertidur nyenyak. Gerald pergi ke rumah tetangga untuk meminta ramuan herbal yang bisa membantu meredakan demam.
Beberapa tetangga datang membantu, menunjukkan betapa keluarga ini disayangi di desa. Salah satu nenek tetangga bahkan membawakan sup hangat yang katanya baik untuk anak-anak yang sakit.
Malam kedua pun datang.
Drevyn masih belum pulih sepenuhnya, tapi panasnya mulai turun. Dalam tidurnya yang gelisah, ia merasa sebuah tangan menggenggam tangannya dengan hangat. Saat membuka mata, samar-samar ia melihat wajah ibunya yang tertidur sambil duduk di tepi ranjang, masih menggenggam tangannya erat.
...Begini ya rasanya... dicintai...
Ia tak sadar air mata kecilnya menetes perlahan. Tapi kali ini bukan karena sakit... melainkan karena hatinya yang hangat.
---
Pagi ketiga, Drevyn sudah bisa duduk kembali. Elena memeluk anaknya erat-erat, sementara Gerald mengacak rambut Drevyn dengan bangga.
"Kau anak yang kuat, Drevyn," katanya dengan senyum lebar.
Meski hanya sakit ringan, kejadian itu mengajarkan banyak hal bagi mereka. Tentang kekhawatiran, tentang cinta, dan tentang betapa berharganya kehadiran satu sama lain.
Beberapa hari setelah sembuh, Drevyn mulai ceria kembali. Ia berjalan dengan langkah kecil yang masih belum sempurna, namun matanya kembali bersinar seperti biasa. Rumah keluarga Ashkar kembali dipenuhi suara tawa, meski sederhana, tapi terasa begitu damai.
Pada suatu sore yang cerah, Elena sedang memanggang roti di dapur. Aroma manis dan hangat menyebar ke seluruh rumah. Gerald duduk di ruang tengah sambil mengukir gagang cangkul baru, sesekali melirik ke arah Drevyn yang sedang bermain dengan tumpukan kain di sudut ruangan.
"Drevyn, kau bantu Ayah, ya? Pilihkan kayu yang paling lurus," ujar Gerald sambil tersenyum lebar.
Drevyn mengangguk cepat—meski ia sebenarnya belum terlalu mengerti maksud ayahnya—dan berjalan tergopoh-gopoh ke arah tumpukan kayu. Gerald hanya tertawa melihat putranya yang antusias.
Tak lama kemudian, Elena keluar dari dapur dengan celemek masih melingkar di pinggang. Ia membawa sepotong roti hangat di piring kecil, dan menyuapkannya langsung ke mulut Drevyn yang duduk di pangkuan Gerald.
"Enak?" tanya Elena dengan lembut.
Drevyn mengangguk, mulutnya masih penuh, wajahnya berseri-seri.
Gerald menatap Elena sebentar, lalu tersenyum. "Kau membuatnya lebih manis hari ini."
Elena tertawa kecil. "Untuk anak kita. Supaya dia cepat besar dan bisa bantu-bantu di ladang."
Drevyn mendongak dan berseru pelan, "...Tani!" meski ucapannya belum begitu jelas, mereka tahu maksudnya. Gerald langsung tertawa terbahak.
"Mau jadi petani, ya?" katanya sambil mengangkat Drevyn tinggi-tinggi ke udara, membuat bocah itu tertawa lepas.
Saat malam tiba, mereka bertiga duduk di depan perapian kecil. Api unggun memancarkan cahaya jingga yang memantul di dinding kayu rumah mereka. Elena duduk bersandar di bahu Gerald, sementara Drevyn tertidur di pangkuannya, memeluk boneka kain kecil buatan ibunya.
"Dia seperti cahaya di rumah ini," bisik Elena lirih.
Gerald hanya mengangguk pelan, menatap putranya dengan penuh rasa bangga dan syukur. "Aku tak butuh kekayaan, Elena. Cukup kau dan dia… rumah ini sudah seperti istana bagiku."
Angin malam bertiup lembut melalui jendela yang terbuka sedikit. Di luar, langit dipenuhi bintang. Di dalam, kehangatan keluarga itu menyelimuti malam dengan kedamaian yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Beberapa hari kemudian, pagi di desa kembali cerah. Udara segar membawa harum embun yang belum lama turun. Drevyn duduk di pangkuan ibunya di depan rumah, matanya yang bulat menatap langit luas dengan rasa ingin tahu.
Seekor burung kecil hinggap di pagar kayu tak jauh dari mereka. Burung itu berkicau sejenak, lalu mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi ke angkasa.
Drevyn menunjuk ke arah burung itu dengan mata membesar. "Ma… burung… ke mana?"
Elena tersenyum lembut, lalu mengelus rambut putranya. "Mungkin dia sedang mencari sarapan… atau sedang pergi bertemu teman-temannya."
Drevyn masih menatap langit. Ia terlihat diam, tapi pikirannya mulai bekerja. Dunia ini… luas. Ada banyak hal yang belum ia tahu. Ia hanya bisa melihat, mendengar, dan perlahan mulai memahami. Tapi itu cukup untuk menyalakan sebuah api kecil di hatinya.
"Aku juga… mau lihat langit," gumamnya, meski kata-katanya masih belum jelas.
Elena tersenyum lagi. "Nanti, kalau kamu sudah besar, kamu bisa melihat sejauh yang kamu mau, Sayang."
Drevyn mengangguk pelan, tak sepenuhnya mengerti, tapi ia merasa ibunya sedang berjanji sesuatu yang indah. Dan dengan itu, hari itu berlalu—dengan secercah keingintahuan yang tumbuh dalam diri seorang bocah kecil bernama Drevyn Ashkar.
Hari itu, setelah sarapan sederhana bersama ayah dan ibunya, Drevyn dibawa ke ladang oleh sang ayah. Tangan kecilnya menggenggam jemari kuat milik Gerald Ashkar, sosok petani yang penuh semangat dan kelembutan bagi keluarganya. Ladang itu membentang luas, dipenuhi tanaman yang menghijau di bawah sinar matahari pagi.
"Ini tempat Ayah bekerja," kata Gerald sambil mengangkat Drevyn dan mendudukkannya di atas pundaknya. "Suatu hari nanti, kalau kamu mau, kamu bisa bantu Ayah."
Drevyn tertawa kecil, merasa tinggi saat berada di atas sana. Angin pagi menyapu wajahnya, dan aroma tanah yang segar memenuhi hidungnya. Ia menunjuk ke arah sekumpulan kumbang yang beterbangan di atas bunga liar.
"Liat… ada yang terbang!" katanya riang.
Gerald tertawa. "Itu kumbang, Nak. Mereka juga bekerja, sama seperti Ayah."
Mereka menghabiskan waktu di ladang hingga matahari mulai naik tinggi. Drevyn terlihat lelah, dan Gerald pun menggendongnya pulang sambil bersenandung lagu desa. Di rumah, Elena menyambut mereka dengan senyum hangat dan segelas air dingin untuk sang suami. Ia lalu memeluk Drevyn, yang langsung bersandar di dadanya dengan menguap pelan.
Hari-hari seperti ini menjadi hal biasa bagi Drevyn. Tapi bagi hatinya yang masih kecil dan polos, setiap detik adalah petualangan. Ia belajar mengenal dunia—dari tawa ibunya, dari keringat ayahnya, dari bunga yang mekar di halaman, dan dari suara nyanyian yang selalu terdengar sebelum tidur.
Suatu malam, ketika hujan turun lembut membasahi atap rumah mereka, Elena kembali membacakan dongeng untuk Drevyn. Suaranya lembut, mendayu, penuh kasih sayang. Drevyn mendengarkan dengan mata mengantuk, tubuhnya dibalut selimut hangat.
"…dan ksatria itu terus berjalan, meskipun malam menakutkan dan jalannya gelap. Karena dalam hatinya, dia percaya bahwa cahaya akan datang…" suara ibunya merendah, lalu berhenti sejenak.
Elena menatap putranya yang tertidur di pangkuannya. Senyumnya mengembang. Ia tahu, suatu hari nanti, putranya juga akan berjalan di jalan gelap itu. Tapi untuk saat ini, biarlah Drevyn tumbuh dalam hangatnya cinta—dan damai sebuah rumah kecil di desa.