Cherreads

Chapter 5 - Ayah dan Anak

Hari-hari berlalu dengan tenang di desa kecil yang sederhana itu. Langit pagi selalu tampak jernih, menyambut kicauan burung dan aroma embun yang menggantung di daun-daun. Drevyn Ashkar kini telah berumur lima tahun dan tumbuh menjadi anak yang penuh rasa ingin tahu, penuh semangat, dan selalu menunjukkan kecerdasan yang tak biasa untuk anak seusianya.

Setelah kejadian di mana dirinya menunjukkan bakat luar biasa saat pengujian core di Ordo, Drevyn mulai lebih sering merenung dan berlatih. Meskipun usianya masih sangat muda, hatinya sudah dipenuhi tekad dan rasa tanggung jawab. Ia mulai menyadari bahwa core yang dimilikinya bukanlah core biasa. Ia istimewa—dan karena itu, ia merasa harus mempersiapkan dirinya lebih dari anak-anak lain.

Suatu pagi, Drevyn duduk di halaman belakang rumah bersama ayahnya, Gerald. Mereka sedang membuat pedang kayu baru yang lebih kokoh dan lebih rapi dari sebelumnya. Kali ini, Gerald mengajarkan Drevyn cara mengukir pegangan agar tidak mudah terpeleset saat digunakan. Dengan pisau ukir di tangan ayahnya dan perhatian penuh dari Drevyn, mereka bekerja bersama dalam suasana yang penuh canda tawa.

"Jadi, ini pedangmu yang ketiga dalam dua minggu ini?" tanya Gerald sambil tersenyum.

Drevyn mengangguk, "Yang kemarin patah waktu aku coba ayun cepat… Kayu bagian tengahnya lemah."

Gerald tertawa kecil. "Kau bahkan tahu titik lemah dari kayumu. Hebat juga."

Drevyn tersipu, lalu melanjutkan, "Ayah… kalau aku besar, aku ingin jadi seperti ksatria dalam dongeng itu. Yang melindungi orang lain dan melawan kegelapan."

Gerald menatap putranya dalam diam sejenak, lalu mengangguk. "Kalau kau memang ingin menjadi seperti itu, maka latihlah hatimu lebih dahulu, bukan hanya tubuhmu."

Drevyn sedikit bingung. "Latih hati?"

Gerald meletakkan kayu yang sedang dia ukir, lalu menatap langit biru di atas mereka. "Seorang ksatria sejati bukan hanya hebat karena pedangnya, tapi karena hatinya kuat. Hati yang tak mudah putus asa. Yang tahu kapan harus melindungi, bukan hanya menyerang."

Drevyn diam, menyimpan setiap kata ayahnya dalam ingatan.

Beberapa hari kemudian, datanglah momen yang menguji ketahanan hati kecil Drevyn. Di pagi hari, saat udara terasa lebih dingin dari biasanya, Drevyn bangun dengan tubuh yang lemas dan kepala yang panas. Elena, ibunya, segera menyadari bahwa anaknya sedang sakit. Wajah Drevyn pucat, dan napasnya terdengar berat.

Elena dengan panik memanggil Gerald yang sedang bekerja di ladang. Dalam waktu singkat, rumah mereka dipenuhi kesibukan. Kompres air dingin, ramuan herbal, dan doa yang tak putus-putus dari seorang ibu mengiringi hari itu.

Meski tubuhnya lemah, Drevyn berusaha tetap tersenyum. Ia tak ingin ibunya khawatir. "Aku… baik-baik saja…" gumamnya, meski suaranya nyaris tak terdengar.

Elena menggenggam tangan anaknya erat. "Kau tak perlu memaksakan diri, Sayang. Istirahatlah. Ibu akan di sini."

Gerald menaruh semangkuk bubur di meja, lalu duduk di sisi ranjang. "Kau itu seperti ibumu. Kalau sudah mau melakukan sesuatu, susah dihentikan," katanya sambil tersenyum, mencoba meringankan suasana.

Drevyn hanya bisa tertawa kecil meski lemah. Tapi dalam hati, dia merasa hangat. Bukan karena demamnya, melainkan karena perhatian dan cinta dari kedua orang tuanya.

Selama dua hari penuh, Drevyn beristirahat. Setiap pagi, Elena menyanyikan lagu-lagu lembut untuk menenangkannya. Lagu-lagu itu adalah lagu yang dulu sering ia nyanyikan saat Drevyn masih bayi. Dan setiap malam, Gerald akan membacakan cerita ksatria dengan suara yang tenang namun penuh semangat, seperti memberi semangat pada putranya untuk segera pulih.

Setelah beberapa hari, demam Drevyn pun turun. Ia mulai bisa duduk sendiri, bahkan meminta buku dongeng untuk dibacakan kembali. Elena merasa lega, dan Gerald pun kembali bekerja di ladang, meski tetap sering melirik ke arah rumah dengan khawatir.

Hari-hari pun kembali normal. Tapi ada satu hal yang berubah. Drevyn kini lebih tenang dan tidak terlalu terburu-buru dalam melatih diri. Ia mulai memahami bahwa kekuatan bukan hanya tentang seberapa keras dia berlatih, tetapi juga tentang seberapa sabar dan bijak ia bisa bertumbuh.

Pada suatu sore yang damai, Drevyn duduk di beranda rumah, memandangi langit yang perlahan berubah jingga. Di tangannya tergenggam sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah mulai lusuh. Elena duduk di sampingnya, menyulam dengan tangan terampilnya.

"Ibu… bagaimana caranya tahu kalau kita sudah siap?" tanya Drevyn tiba-tiba.

Elena menoleh, lalu berhenti menyulam. "Siap untuk apa, Sayang?"

"Untuk menjadi seseorang yang hebat… seperti ksatria dalam cerita. Atau seperti Ayah."

Elena terdiam sejenak, lalu menjawab, "Mungkin kau tidak pernah benar-benar tahu kapan kau siap. Tapi ketika waktunya tiba, hatimu akan memandumu. Dan selama kau tetap jujur pada dirimu sendiri, kau tak perlu takut."

Drevyn menatap langit sekali lagi. Kali ini, matanya lebih dalam. Lebih matang, meski ia masih anak-anak. Dalam dirinya, api kecil yang dulu dinyalakan oleh rasa ingin tahu kini perlahan tumbuh menjadi bara semangat.

Dan meski dunia luar belum memanggilnya secara langsung, Drevyn tahu, suatu hari nanti, ia akan berjalan meninggalkan desa kecil ini. Bukan karena ingin meninggalkan keluarganya, tapi karena ia ingin menjawab panggilan takdirnya sendiri.

Tapi untuk saat ini, ia masih akan bermain di halaman, tertawa bersama orang tuanya, dan mengukir kenangan indah dalam hati kecilnya. Sebelum dunia yang luas itu benar-benar memanggil namanya… dan ia menjawabnya, dengan langkah seorang ksatria yang sedang tumbuh.

——

Satu tahun telah berlalu. Drevyn kini berusia enam tahun. Tubuhnya masih kecil dan mungil, namun setiap gerakannya tampak lincah dan terarah. Setiap pagi, ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih di halaman belakang rumah. Pegangan kayunya kini lebih mantap, gerakan kendo-nya pun semakin terlatih. Ia tidak lagi sekadar meniru, tapi mulai menciptakan alur geraknya sendiri, seperti naluri yang tumbuh bersama tubuhnya.

Keringat mengalir di dahinya, namun wajahnya tak menunjukkan lelah. Hanya fokus. Matanya tajam menatap ke depan, membayangkan lawan tak kasatmata yang berdiri di hadapannya. Angin pagi mengibaskan rambutnya yang mulai tumbuh lebih panjang, membuatnya tampak seperti seorang pendekar kecil yang sedang menantang dunia.

Dari kejauhan, Gerald—ayahnya—mengamati dalam diam. Senyum bangga perlahan merekah di wajahnya yang mulai ditandai oleh garis-garis usia. Tanpa suara, ia melangkah mendekat… lalu dengan tiba-tiba, dia menjulurkan tangan dan mencubit ringan pinggang Drevyn dari belakang.

"Wah!" seru Drevyn terkejut, mundur dengan gerakan refleks. "Ayah! Itu tidak lucu!"

Gerald tertawa kecil, duduk santai di tanah dekat putranya. "Maaf, maaf. Kamu terlalu serius tadi, sampai lupa kalau ada dunia di sekitarmu."

Drevyn cemberut sejenak, namun kemudian ikut tertawa kecil. "Aku sedang fokus…"

"Ya, aku tahu. Fokus sekali. Sampai-sampai tidak sadar ayahmu yang tampan ini ada di belakangmu."

Drevyn melirik ayahnya. "Tampan? Mungkin saat muda…"

Gerald memasang ekspresi pura-pura tersinggung. "Hei! Tidak sopan, anak kecil!"

Mereka berdua tertawa bersama. Setelah tawa mereda, Gerald menatap langit sebentar lalu berkata, "Kamu tahu, Drevyn… waktu ayah seusiamu, ayah tidak pernah membayangkan akan hidup seperti ini."

Drevyn menoleh, duduk di samping ayahnya dengan wajah ingin tahu.

"Ayah dulu adalah seorang prajurit kerajaan," lanjut Gerald. "Dilatih untuk perang, untuk menjaga istana, dan melindungi bangsawan. Tapi semuanya berubah saat ayah bertemu ibumu."

Drevyn mengedip. "Lalu ayah berhenti jadi prajurit karena Ibu?"

Gerald mengangguk pelan. "Ya… bisa dibilang begitu. Setelah menikah, ayah mulai merasa asing di antara rekan-rekannya. Mereka mulai memperlakukan ayah berbeda. Ada yang bilang karena ibu bukan dari keluarga bangsawan, atau karena ayah terlalu lembek sejak menikah."

"Ayah bukan lembek," potong Drevyn cepat. "Ayah kuat!"

Gerald tersenyum, menepuk kepala putranya.

"Terima kasih. Tapi ayah akhirnya sadar, tempat ayah bukan lagi di sana. Maka ayah memilih pergi… meninggalkan seragam, gelar, dan segalanya. Ayah dan ibumu memutuskan tinggal di desa ini, menjalani hidup yang sederhana sebagai petani."

Gerald berhenti sejenak. Suaranya jadi lebih pelan.

"Maafkan ayah, kalau hidup kita tidak mewah, Nak. Mungkin kamu akan melihat anak-anak lain punya baju bagus, makanan enak, atau rumah besar. Tapi ayah hanya bisa memberimu… ini."

Ia membuka tangannya, memperlihatkan kulit kasar bekas cangkul dan kerja keras. "Ini semua yang ayah punya."

Drevyn menatap tangan ayahnya, lalu memeluk lengan itu erat-erat.

"Ayah… tidak perlu minta maaf. Aku senang… aku bangga jadi anak Ayah dan Ibu. Kita memang tidak kaya, tapi aku bisa merasakan kehangatan… setiap hari."

Gerald menoleh ke Drevyn, matanya sedikit berkaca-kaca. Lalu ia tertawa, keras tapi penuh haru. "Kau ini… bisa saja bicara seperti itu."

Ia lalu menepuk punggung Drevyn dengan keras, membuat anak itu sedikit terbatuk.

"Ugh! Ayah! Pelan-pelan!"

Gerald tertawa lebih keras. "Heh! Itu hukuman karena kamu membuat ayah hampir menangis!"

Drevyn hanya bisa tertawa geli. Saat itu, dunia terasa sangat damai. Tidak ada peperangan, tidak ada pertarungan. Hanya seorang ayah dan anak yang duduk berdampingan di halaman kecil mereka, dikelilingi rerumputan yang basah oleh embun pagi, di bawah langit biru yang luas.

Dan di balik kebersahajaan itu, benih kekuatan dan tekad terus tumbuh dalam diri Drevyn—berawal dari kehangatan rumah dan kisah ayahnya yang penuh pelajaran hidup.

More Chapters