Cherreads

Chapter 7 - Firasat Buruk

Setelah membantu sang ayah di ladang, Drevyn menyelinap menjauh sejenak untuk menenangkan pikirannya. Ia memilih duduk di bawah sebuah pohon tua yang rindang di tepi ladang. Pohon itu sudah terlihat sangat tua, batangnya tebal dan penuh dengan lumut, namun justru terasa teduh dan menenangkan—seolah menjadi saksi bisu dari banyak cerita.

Namun, ketenangan alam tak mampu meredam keributan dalam benaknya.

'Siapa sosok itu…?'

'Apa maksud dari perkataannya…?'

Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir di kepala Drevyn, tanpa ada satu pun jawaban yang muncul. Ia mencoba mengingat jelas wajah makhluk yang ditemuinya dalam kegelapan itu, tapi setiap kali mencoba, gambarnya seolah kabur… kecuali sorot mata putih yang bersinar tajam dan senyum menyeramkan yang masih tertanam jelas di pikirannya.

Drevyn menghela napas panjang, memejamkan mata untuk sejenak, lalu akhirnya berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor oleh tanah.

"Sudahlah… gak usah dipikirin terus," gumamnya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Mungkin cuma mimpi aneh…"

Ia mulai berjalan pulang dengan langkah ringan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan bersiul kecil. Tapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok tak biasa di ujung jalan desa.

Dua orang ksatria—berjalan perlahan menyusuri desa. Armor mereka tampak ramping dan bersih, memantulkan cahaya matahari. Keduanya mengenakan jubah panjang berwarna putih bersimbol lambang suci, yang berkibar ringan tertiup angin. Drevyn belum pernah melihat mereka sebelumnya. Di desa kecil ini, jarang ada prajurit kerajaan, apalagi pasukan khusus seperti itu.

"Kenapa ada ksatria suci di sini…?" gumamnya sambil terus memperhatikan dari kejauhan.

Meski penasaran, Drevyn tetap melanjutkan langkah menuju rumahnya. Tapi rasa penasaran itu berubah menjadi ketegangan saat ia mendekati halaman rumah, dan kedua ksatria itu—seolah menyadari keberadaannya—menoleh dan menatap langsung ke arahnya.

Tatapan mereka kosong. Tanpa emosi. Tanpa gerak. Namun justru itulah yang membuat Drevyn bergidik.

Deg.

Tubuhnya langsung menegang. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Ia tak tahu kenapa, tapi tatapan itu terasa... tidak wajar. Seperti melihat ke dalam lubang hitam yang dalam dan tak punya dasar.

Tanpa menunggu lebih lama, Drevyn bergegas masuk ke rumahnya. Ia menutup pintu perlahan, tapi tangannya sempat bergetar sedikit saat menyentuh kenop. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin itu hanya kebetulan.

Namun saat ia melirik keluar dari celah jendela...

Kedua ksatria itu sudah tidak terlihat.

Hilang, entah ke mana.

Drevyn berdiri diam cukup lama, menatap jalan kosong di luar. Ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan. Seolah ia sedang diawasi—atau lebih tepatnya, sedang dipantau.

Dan entah mengapa... firasatnya mulai tidak enak.

Ayah Drevyn, yang sedang duduk di ruang utama sambil mengelap keringat di dahinya, melihat putranya masuk dengan wajah panik.

"Ada apa, Nak? Kamu kok kayak orang dikejar serigala begitu?" tanyanya, mengerutkan dahi.

Drevyn menoleh, dan ayahnya langsung menangkap wajah putranya yang pucat—seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.

"T-Tadi... ada dua ksatria, Yah... mereka nyeremin banget," ucap Drevyn dengan suara tersendat.

"Ksatria? Di mana mereka?" tanya sang ayah, sedikit terkejut.

"Mereka baru saja keliling desa ini... jalannya pelan, tapi tatapannya—serem," jawab Drevyn sambil duduk.

Ayahnya tertawa kecil, lalu bangkit dan menepuk pundak anaknya.

"Wah, justru bagus. Sudah lama desa ini nggak didatangi ksatria atau prajurit kerajaan. Mungkin mereka cuma patroli," ucapnya, mencoba menenangkan.

Drevyn tidak membalas. Ia hanya diam menunduk. Meski ayahnya menganggap itu hal biasa, perasaan Drevyn mengatakan hal yang berbeda. Tatapan dua ksatria tadi tidak seperti orang yang hanya sekadar lewat.

Mereka seperti... tahu sesuatu.

"Sudahlah, kamu nggak perlu takut," kata ayahnya lagi. "Mereka cuma ksatria. Mungkin sedang memeriksa keamanan."

"Iya... baiklah," jawab Drevyn pelan, meski pikirannya masih jauh dari tenang.

Ia akhirnya duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Tapi belum lama duduk, sesuatu terjadi.

Sebuah suara berat terdengar—bukan dari luar, melainkan dari dalam pikirannya sendiri.

Suara itu bergema seperti gema gua yang dalam, membuat Drevyn sontak membeku.

Awalnya ia mencoba mengabaikannya. Tapi suara itu malah membuat kepalanya berdenyut hebat. Gendang telinganya terasa ditekan dari dalam.

"Kau mencoba mencueki aku?" Suara berat itu kembali terdengar, tajam dan menggema dalam benaknya.

"Hahaha… lucu sekali. Kau tidak akan bisa. Aku sudah ada dalam tubuhmu, Drevyn. Kau akan selalu mendengar suaraku."

Drevyn mengepalkan tangan, menahan rasa tidak nyaman dan kemarahannya.

"Siapa kau? Kenapa kau ada di dalam tubuhku?" tanyanya dalam hati, mencoba melawan ketakutan.

Namun sebelum ia mendapat jawaban, ibunya datang. Ia duduk di samping Drevyn dan menatapnya penuh kekhawatiran.

"Kamu kenapa, Nak? Ibu perhatiin akhir-akhir ini kamu sering kelihatan aneh…" ucap sang ibu lembut.

Drevyn menoleh dengan cepat dan berusaha tersenyum, meski jelas senyum itu dipaksakan.

"Ah… nggak apa-apa kok, Bu. Mungkin cuma kecapekan karena latihan kemarin."

Ibunya masih menatapnya dengan tatapan khawatir. Tapi bukannya bertanya lebih lanjut, ia memeluk Drevyn erat-erat.

Pelukan itu hangat… dan jujur.

Drevyn sempat terdiam. Untuk sesaat, suara dalam pikirannya menghilang, dan kehangatan dari ibunya terasa menenangkan.

"Kamu kalau ada apa-apa, cerita ya, Nak. Jangan dipendam sendiri," bisik ibunya pelan.

Drevyn memejamkan mata, lalu membalas pelukannya perlahan.

"Iya, Bu…"

Tapi jauh di dalam hatinya… ia tahu ini belum selesai.

Setelah semua kejadian aneh hari ini, Drevyn akhirnya mulai merasa sedikit tenang. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan beristirahat, apalagi hari sudah mulai gelap.

Begitu tubuhnya menyentuh kasur, ia terdiam sejenak—matanya menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Meski pikirannya masih dipenuhi berbagai pertanyaan, ia mencoba mengabaikannya. Rasa lelah akhirnya mengalahkan rasa penasaran.

Perlahan, kelopak matanya menutup… dan ia pun tertidur.

Namun, beberapa jam kemudian, di tengah malam yang sunyi, Drevyn tiba-tiba merasa aneh. Ia membuka mata, tapi bukan kamarnya yang ia lihat.

Yang ada hanyalah… kegelapan.

Drevyn duduk terperanjat. Sekelilingnya hitam pekat, tak ada dinding, tak ada cahaya, seperti terjebak dalam ruang tanpa batas. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu ini mimpi atau kenyataan.

"Di mana aku...?"

Tiba-tiba, dari kegelapan, muncul sosok yang tak asing—makhluk bayangan yang sebelumnya sempat ia lihat. Tapi kini... ada yang berbeda. Di kepalanya tumbuh sepasang tanduk gelap seperti tanduk iblis, dan aura di sekitarnya terasa lebih kuat… lebih mencekam.

Drevyn ingin berteriak, tapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan. Tubuhnya membeku, tidak bisa bergerak sama sekali.

Sosok itu perlahan mendekat, langkahnya tenang namun mengintimidasi. Dan saat ia sampai di hadapan Drevyn… ia tersenyum.

Senyum yang membuat bulu kuduk meremang.

"Tenang saja," ucapnya dengan suara berat yang bergema, "Aku tidak akan menyakitimu."

"A-Apa maumu dariku?" tanya Drevyn dengan suara bergetar.

Sosok itu menatapnya dalam, lalu menjawab, "Aku hanya ingin kau bekerja untukku. Jadilah bagian dari diriku."

"Bekerja untukmu…? Tidak! Aku tidak akan mau… apa pun yang kau minta."

"Meminta?" Sosok itu tertawa pelan. "Aku tidak meminta, Drevyn. Aku memaksamu."

Hati Drevyn terasa seperti diremas. Rasa takut menyelimuti dirinya sepenuhnya. Ia belum paham maksudnya, tapi kata-kata makhluk itu terasa seperti kutukan.

"Kau tak punya pilihan," lanjutnya. "Cepat atau lambat… kau akan menjadi milikku."

"Tidak! Aku tidak mau!!" teriak Drevyn, kali ini suara itu berhasil keluar dari mulutnya meski lemah.

Makhluk itu menghela napas, lalu berkata dengan nada datar, "Hei, niatku ini sebenarnya baik, loh. Masa kamu tetap keras kepala menolaknya?"

Kemudian, suaranya berubah dingin dan penuh tekanan.

"Dengar ya, nasib buruk menantimu… dan ketika itu datang, satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu hanyalah aku."

'Nasib buruk?' Drevyn makin tak mengerti. Apa maksudnya?

"Aku tidak mau membuatmu ketakutan lebih lama," ucap makhluk itu sambil melangkah mundur, tubuhnya perlahan menghilang ke dalam kegelapan.

"Beristirahatlah, Drevyn… kita akan bicara lagi."

"Tidak! Tunggu! Jelaskan dulu—"

Namun semuanya sudah terlambat.

Drevyn tersentak bangun. Ia kembali berada di kamarnya, nafasnya terengah-engah, keringat membasahi pelipisnya. Ia memegang kepalanya yang terasa pening.

"Apa… yang sebenarnya terjadi…"

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalanya. Tapi untuk saat ini, ia tak sanggup berpikir lebih jauh. Dengan tubuh yang masih gemetar, Drevyn kembali merebahkan diri.

Ia tahu… malam ini bukan mimpi biasa.

Dan ini… baru permulaan.

More Chapters