Cherreads

Chapter 2 - Kehidupan Baru

Sudah seminggu berlalu sejak Ren membuka matanya di dunia baru ini—atau mungkin sekarang, sudah waktunya dia mulai terbiasa dipanggil Drevyn. Nama itu masih terasa asing, tapi perlahan mulai menyatu dengannya.

Ia terlahir di keluarga sederhana namun hangat. Ayahnya, Gerald Ashkar, adalah seorang petani. Tubuhnya kekar, kulitnya kecokelatan karena matahari, dan tangannya penuh bekas luka kerja keras. Meskipun terlihat tegas, Gerald selalu bersikap lembut kepada putranya. Dia sering tersenyum sambil menggendong Drevyn di pundaknya, lalu berjalan perlahan ke ladang.

Ibunya, Elena Ashkar, seorang wanita yang anggun meski hidup sederhana. Rambut hitam panjangnya selalu dikepang, dan tangannya cekatan dalam mengaduk adonan roti. Ia membuat roti-r roti hangat setiap pagi, lalu menjualnya di sudut pasar desa. Elena begitu menyayangi Drevyn, dan kasih sayangnya bisa terasa bahkan hanya dari cara ia menatap anaknya.

Meski berasal dari keluarga biasa, Drevyn merasa lebih dari cukup. Tidak ada kemewahan, tidak ada status sosial yang tinggi, tapi... ia memiliki sesuatu yang dulu sangat ia rindukan: ketenangan dan cinta.

Terkadang, Gerald mengajak Drevyn—yang digendong dengan selendang di punggungnya—ke ladang. Ia akan menjelaskan banyak hal dengan suara rendah dan lembut, seolah berharap anaknya akan mengerti, walaupun Drevyn masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami. Tapi bagi Drevyn, itu lebih dari cukup. Suara ayahnya dan pemandangan padang yang terbuka luas membuatnya merasa hidup.

Di hari lain, Elena membawanya berkeliling ke desa, atau sesekali menuju kota kecil di utara. Drevyn sering dipeluk hangat di pelukannya, dibawa berjalan melalui jalanan berbatu yang sibuk dengan aktivitas warga. Ia melihat rumah-rumah batu dengan cerobong asap yang mengepul, pedagang yang menjajakan barang, anak-anak kecil berlarian, dan sesekali—sesuatu yang benar-benar mengejutkannya.

Sihir.

Bukan sihir yang meledak-ledak seperti di anime atau game, tapi sihir yang membaur dengan kehidupan sehari-hari. Ada orang tua yang mengangkat keranjang berat tanpa menyentuhnya, ada ibu-ibu yang menggunakan bola api kecil untuk memanggang daging di atas lapak dagangannya. Cahaya biru melayang di udara untuk penerangan, dan angin kecil bertiup pelan untuk mengeringkan pakaian di tali jemuran.

Drevyn terkagum-kagum. Di dalam hatinya yang masih membawa jiwa Ren, ia seperti anak kecil di dalam toko mainan. Dunia ini... sungguh berbeda.

Saat mereka sampai di pasar kota, Drevyn melihat sesuatu yang membuat matanya membelalak lebih besar.

Deretan toko menjual perlengkapan tempur.

Di balik jendela kaca, tampak pedang tergantung rapi, berkilau meski cahaya matahari terhalang. Ada perisai besar yang tampak kokoh, busur yang dilengkapi anak panah, dan bahkan baju zirah kecil untuk anak-anak. Seolah dunia ini tidak hanya mengandalkan sihir—tapi juga kekuatan.

Sesuatu bergetar dalam dada Drevyn. Mungkin... gairah lamanya terhadap kendo, terhadap seni bertarung. Meski tubuhnya kini kecil dan mungil, tapi semangat itu tidak padam. Dia tahu—suatu hari nanti, dia ingin menggenggam pedang seperti itu. Bukan hanya karena terlihat keren, tapi karena entah kenapa, hatinya bergetar saat melihatnya.

Malam hari di rumah, saat semua aktivitas berakhir dan suasana tenang menyelimuti, Elena akan duduk di sisi ranjang kecil Drevyn, sambil membacakan cerita dari buku dongeng tua.

Dongeng itu selalu dimulai dengan nada lembut.

"Pada zaman dahulu, di tanah yang jauh di atas awan, ada seorang ksatria yang tidak takut pada apapun..."

Drevyn akan mendengarkannya dengan mata terpejam, membayangkan ksatria itu berhadapan dengan iblis kegelapan, berjuang demi dunia yang lebih damai. Meskipun dongeng itu hanya fiksi, sesuatu dalam dirinya merasa... kisah seperti itu bisa saja nyata di dunia ini.

Dan kalau begitu... mungkinkah dia bisa menjadi seperti ksatria itu?

Enam bulan telah berlalu sejak Drevyn membuka matanya di dunia ini. Waktu terasa lambat tapi hangat, seperti pagi yang selalu menyapa dengan cahaya matahari lembut dari jendela kecil rumah mereka.

Hari itu, ada kegembiraan kecil di dalam rumah keluarga Ashkar. Gerald dan Elena duduk bersimpuh di atas karpet anyaman, matanya menatap penuh harap ke arah Drevyn yang kini bersiap untuk melakukan hal yang dianggap luar biasa bagi bayi seusianya—merangkak.

"Dia akan melakukannya, Lena," kata Gerald dengan suara tertahan antusias.

"Ya... lihat gerakan kakinya. Ayo, sayang, sedikit lagi," balas Elena dengan senyum penuh semangat.

Drevyn merasa seperti berada di tengah kompetisi nasional. Ya ampun, ini cuma merangkak, tapi kenapa rasanya seperti final kejuaraan? pikirnya sambil berusaha mengangkat badannya.

Dengan segenap upaya, ia mulai bergerak maju. Satu tangan, satu lutut. Perlahan, perlahan...

Bruk!

Drevyn tergelincir dan jatuh ke sisi, tubuh mungilnya membentur lantai kayu yang tidak terlalu keras.

"Aduh!" Elena langsung bergegas memeluk anaknya. "Sayang, tidak apa-apa? Sakit ya?"

Gerald mendekat dengan cemas, namun wajahnya berubah heran ketika melihat Drevyn tidak menangis. Anak kecil itu hanya mengerutkan alis, menggeleng pelan seperti berkata "gak segitunya juga."

"...Dia nggak nangis?" gumam Gerald pelan, hampir tak percaya.

Elena masih memeluknya, mengelus lembut kepala Drevyn, tapi ayahnya justru tersenyum bangga. "Anak kita kuat, Lena. Luar biasa."

Di dalam hati kecilnya, Drevyn bergumam, Yah, secara mental umur gue udah belasan tahun. Masa jatuh gitu doang nangis? Gengsi dong...

Tapi tetap saja, belaian ibunya yang lembut dan penuh kasih membuat hatinya terasa hangat. Rasanya seperti kembali merasakan pelukan seorang ibu yang tak pernah bisa ia ingat dari kehidupan sebelumnya. Dan mungkin, itu cukup untuk membuat hatinya tenang.

Seminggu kemudian, Drevyn telah menjadi bayi super aktif. Ia merangkak ke mana-mana, mengeksplorasi tiap sudut rumah kecil itu seperti penjelajah profesional. Gerald bahkan harus membuatkan pagar kecil dari kayu agar Drevyn tidak merangkak ke dapur.

Namun satu hari, saat rumah terasa tenang dan Elena sedang menggulung adonan roti, Drevyn menemukan sebuah ruangan yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Pintu kayunya setengah terbuka, dan rasa penasaran pun menyelinap dalam hatinya.

Ruangan itu seperti perpustakaan mini. Ada meja kayu dengan coretan tinta di atasnya, pena dari bulu burung yang diletakkan di samping tumpukan buku tebal. Aroma tinta dan kertas tua menyambutnya seperti kenangan dari masa lalu.

Buku... akhirnya... buku!

Dengan usaha keras, ia mencoba menggapai kursi untuk naik dan melihat isi meja itu. Tapi sebelum sempat menyentuhnya, langkah cepat dan suara lembut menghentikannya.

"Eh—kamu masuk ke sini lagi, ya?" suara Elena terdengar khawatir tapi tidak marah. Ia segera menggendong Drevyn dan membawanya keluar ruangan.

"Ayo, waktunya makan," ujarnya sambil mencium kening Drevyn.

Drevyn sedikit kecewa, matanya masih melirik ke arah buku-buku itu. Ia ingin membacanya—meskipun belum bisa membaca tulisan dunia ini, ia merasa ada sesuatu yang menarik dalam lembaran-lembaran itu.

Keesokan harinya, saat orang tuanya sibuk di dapur dan ladang, Drevyn merangkak kembali ke ruangan itu. Namun begitu sampai... pintunya kini terkunci rapat.

Huh... cepat banget diantisipasi, keluhnya dalam hati, sambil menyandarkan tubuh mungilnya ke dinding.

Akhirnya, ia menyerah dan memilih menghampiri orang tuanya. Di dapur, Elena sedang menguleni adonan dengan tangan penuh tepung. Di luar, Gerald menumpuk hasil panen di keranjang rotan.

Drevyn hanya bisa duduk dan menatap mereka. Meskipun ia tidak bisa membaca buku hari ini, tapi ada satu hal yang ia sadari...

Rumah kecil ini penuh cerita.

————

Setahun pun berlalu.

Langkah kecil itu akhirnya berhasil. Drevyn kini bisa berjalan—meski masih tertatih, namun semangat dan rasa ingin tahunya seperti tak terbendung. Tiap pagi, rumah mungil keluarga Ashkar diisi dengan suara langkah kecil yang mengekor ke mana pun orang tuanya pergi. Baik saat Gerald membawa air dari sumur, maupun ketika Elena sibuk menyusun roti di atas rak, Drevyn selalu ada di belakang mereka, menatap dengan mata besar penuh rasa ingin tahu.

"Dia seperti bayangan kita sekarang," kelakar Gerald sambil tertawa.

"Bayangan yang sangat lucu," jawab Elena, memeluk putranya dengan hangat.

Malam hari adalah waktu yang biasanya tenang. Setelah makan malam dan cerita dongeng, Drevyn akan terlelap dalam pelukan ibunya. Tapi malam ini berbeda.

Bulan menggantung tinggi di langit, menyorotkan cahayanya lembut lewat jendela kamar. Drevyn terbangun, matanya mengerjap pelan. Suara lembut—seperti nyanyian—mengalun dari ruang sebelah. Didorong oleh rasa penasaran, Drevyn bangkit dari tempat tidur kecilnya, dan perlahan berjalan ke arah suara itu.

Di sana, di bawah cahaya lampu minyak yang temaram, Elena duduk dengan tenang. Di pangkuannya ada sehelai kain yang sedang ia jahit. Jemarinya menari lincah, dan dari bibirnya mengalun lagu nina bobo yang sangat merdu.

Drevyn terdiam di ambang pintu.

Ibunya terlihat sangat... mempesona.

Rambut hitamnya dibiarkan terurai, matanya tampak teduh dalam konsentrasi, dan senyumnya... hangat seperti sinar mentari pagi. Dalam pandangan Drevyn, sang ibu seperti salah satu tokoh dari dongeng yang sering ia dengar—seorang peri yang hidup di antara manusia.

Indah sekali... apakah semua ibu di dunia ini seperti ini? Atau cuma aku yang seberuntung ini...?

"Ha—haaa-tsyiuu!!"

Drevyn bersin tiba-tiba, tubuh kecilnya berguncang ringan. Elena menoleh cepat, terkejut tapi segera tersenyum begitu melihat siapa yang muncul di pintu.

"Sayang? Kenapa belum tidur, hm?" tanyanya lembut sambil berdiri, menghampiri anaknya.

Drevyn berusaha menjawab, "Um... liat... mama..." katanya pelan, tapi suaranya terdengar masih terpatah-patah dan sulit dipahami.

Elena terkekeh kecil, memeluk anaknya erat. "Kau ini... lucu sekali," ujarnya sambil mencium kening Drevyn. "Ayo, kita tidur lagi, ya?"

Sambil digendong kembali ke kamar, Drevyn bersandar di pundak ibunya. Kehangatan itu... suara itu... aroma kain dan tubuh ibunya... semua terasa begitu damai. Di kehidupan sebelumnya, ia tak pernah benar-benar mengingat bagaimana rasanya dipeluk seperti ini.

Dan kini, ia bersyukur.

Sangat bersyukur.

More Chapters