(Azrael POV)
Aku terbangun dengan kepala yang masih berat. Pandanganku buram, tapi perlahan mulai fokus. Langit-langit rumahku. Aku kembali di rumah. Aroma ramuan Lyra samar tercium di udara. Kupaksakan duduk, tubuhku masih lemas.
"Azrael!" seru suara familiar. Lyra memelukku erat.
Rein berdiri di belakangnya dengan senyum bangga. "Kau sudah bangun. Hebat, bocah. Kau membuat kamar itu hancur total."
Aku hanya bisa tersenyum kecut. "Hehe… maaf."
Setelah insiden itu, aku memutuskan untuk serius. Aku ingin jadi petualang, menjelajah dunia, dan menjadi lebih kuat. Tapi aku tahu, aku belum cukup hebat. Jadi kuputuskan untuk belajar empat sihir dasar: api, air, tanah, dan petir.
Setiap pagi, setelah membantu di rumah, aku pergi ke hutan sendirian. Di sana, aku memburu hewan-hewan kecil sambil melatih sihirku.
Awalnya, sihirku berantakan. Bola api yang kulempar malah membakar semak-semak. Air yang kukendalikan malah tumpah ke wajah sendiri. Tapi perlahan, aku mulai bisa memvariasikan sihirku.
"Kalau aku bisa membentuk pedang dari tanah, kenapa nggak coba tombak juga?" pikirku suatu hari. Aku berhasil menciptakan tombak kecil dari tanah dan menancapkannya ke batang pohon.
Kemudian, aku mencoba kombinasi. Panah dari air, pedang dari tanah yang kubakar dengan api, dan menyelimuti kakiku dengan petir untuk meningkatkan kecepatan gerak.
"Kalau aku bisa cepat, aku bisa menghindari lebih banyak serangan. Dan kalau musuhku lambat... mereka gak bakal sempat berpikir."
Suatu hari saat latihan, aku mendengar suara langkah kaki lain.
"Kau juga latihan di sini?" tanya seorang anak laki-laki dengan rambut cokelat acak-acakan. "Namaku Hanz."
Kami seumuran. Ternyata dia anak bangsawan setempat yang juga sedang latihan. Tapi berbeda denganku, dia hanya bisa menggunakan mana, seperti manusia pada umumnya. Sihirnya berfokus pada elemen tanah.
Kami akhirnya sering latihan bareng. Suatu sore, setelah latihan ringan, kami memutuskan untuk menguji kekuatan masing-masing.
"Gimana kalau kita sparring?" tanya Hanz sambil meregangkan badannya. "Biar tahu seberapa jauh kita berkembang."
Aku menyeringai. "Boleh juga. Tapi jangan nyesel kalau kalah, ya."
"Heh, justru aku yang khawatir kamu pingsan lagi kayak kemarin," ejeknya.
"Wah, mentang-mentang keturunan bangsawan, jadi songong, ya?" balasku sambil membentuk pedang dari tanah.
Kami berdua tertawa sebentar sebelum akhirnya bersiap dengan sihir masing-masing.
Tanah di bawah kaki Hanz mulai bergerak. Ia mengangkat tangan, dan seketika pilar-pilar kecil muncul menghalangi pandanganku. Aku langsung melompat mundur dan membentuk panah dari air, menargetkan sela-sela pilar.
Aku menggunakan sihir petir di kakiku untuk meningkatkan kecepatan dan membentuk pedang tanah yang kubakar, mencoba menyerangnya dari sisi. Tapi dia menghindar, membuat tanah miring hingga aku nyaris tergelincir.
Tiba-tiba, suara mengerikan menggetarkan hutan. Seekor Direwolf Alpha, dua kali ukuran biasa, muncul dari semak. Bulu hitam kelam, mata merah membara. Aura haus darahnya membuat napasku tertahan.
"Lari?!"
Terlambat. Monster itu menghilang dari pandangan.
Aku mengalirkan sihir petir ke kakiku dan melompat ke samping, menghindari cakar yang menghancurkan tanah.
Hanz membentuk dinding tanah berlapis, tapi direwolf itu menerjangnya dengan brutal. Aku membentuk panah air dan petir, menargetkan sendi-sendinya. Seranganku membuatnya terguncang.
Hanz memanfaatkan celah itu, menciptakan tombak tanah besar yang menembus tubuh direwolf dari bawah. Tapi monster itu belum mati. Aku menyiapkan pedang api raksasa dari tanah, dan dengan seluruh sisa mana, aku menebas kepalanya.
Direwolf itu roboh. Nafasku terengah. Tubuh gemetar.
"Kita… menang?" Hanz duduk di tanah, napasnya berat.
Aku tersenyum. "Kalau bareng, ternyata bisa juga."
Dalam hati, aku tahu. Aku masih jauh dari kata cukup. Tapi ini langkah awalku.
Keesokan harinya.
Tubuhku masih terasa pegal, tapi aku tak ingin berhenti. Aku dan Hanz kembali ke hutan, seperti biasa.
"Aku ingin mencoba sesuatu," kataku sambil menarik napas dalam.
"Apa lagi sekarang?" tanya Hanz, menatapku dengan curiga.
"Aku ingin mencoba menyelimuti seluruh tubuhku dengan sihir petir."
Hanz memutar bola matanya. "Itu terdengar gila."
"Aku tahu."
Kututup mataku dan mulai mengalirkan mana. Dari ujung kaki, petir merambat naik ke seluruh tubuhku. Tanganku bergetar. Dadaku terasa sesak. Tapi aku terus mendorong.
Kilatan cahaya menyelimuti tubuhku.
ZAAAP!!
Dalam sekejap, aku menghilang dari pandangan Hanz.
"Azrael?!"
Satu detik kemudian, aku muncul di belakangnya, lalu di depannya, lalu di sisi kanannya.
"Aku di sini."
"KAU GILA! AKU TAK BISA MELIHATMU!" Hanz berteriak, wajahnya syok.
Aku berhenti mendadak. Tubuhku gemetar hebat. Napasku memburu. Aku jatuh berlutut.
"Aku hanya bisa menahan… beberapa detik."
Hanz membantuku berdiri. "Kau benar-benar—aku tak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal pasti… kalau kau bisa mengendalikan itu dengan stabil, kecepatanmu akan gila-gilaan."
Aku menatap telapak tanganku yang masih bergetar. "Akan kubiasakan… sampai tubuhku sanggup menahan petir ini lebih lama."
Dan begitulah. Hari demi hari kami berlatih—menguji batas, jatuh, berdiri lagi, lalu melangkah lebih jauh.