Cherreads

Chapter 5 - Buried Traces in Nara

Pagi menyelimuti Kyoto dengan embun tipis yang menari di atas permukaan jalanan batu tua. Liam, Aria, dan Kael baru saja kembali dari pertempuran di Fushimi Inari, namun tak ada waktu untuk beristirahat. Kepala Akademi Valthoria, Zephyr, segera mengirimkan pesan melalui artefak komunikasi kristal: "Temui informan kami di Nara. Ada sesuatu yang harus kalian lihat."

---

Perjalanan ke Nara

Kereta sihir yang mereka tumpangi melesat cepat di jalur khusus penghubung Kyoto–Nara. Di dalam kabin yang mewah, Liam duduk sambil menatap keluar jendela. Matanya penuh waspada, pikirannya berputar mencerna pertempuran yang baru saja mereka lewati.

"Kael, kamu yakin tidak terluka waktu di kuil?" tanya Liam tanpa menoleh.

Kael tertawa pelan. "Cuma goresan. Tapi yang kupikirkan sekarang… kenapa pria berjubah hitam itu muncul di Kyoto, dan kenapa mereka semua menggunakan Rune Kegelapan tingkat tinggi?"

Aria yang duduk di seberang mereka ikut menimpali. "Dan yang lebih mengkhawatirkan, mereka tampaknya sedang mengaktifkan struktur sihir kuno. Monumen seperti di Aokigahara bukan satu-satunya."

"Berarti ada lebih banyak lagi yang tersebar di Jepang," gumam Liam.

Kael melipat tangan. "Kalau begitu, kita harus hancurkan semuanya sebelum mereka bisa menyelesaikan ritualnya."

---

Kedatangan di Nara

Begitu mereka tiba, suasana kota Nara terasa berbeda. Jalanan yang biasanya ramai oleh turis kini lebih sepi. Aura tegang menggantung di udara. Mereka bertiga berjalan menuju Taman Nara, tempat mereka dijanjikan akan bertemu dengan informan Zephyr.

Taman itu masih dipenuhi rusa-rusa jinak yang berkeliaran bebas, tapi ekspresi mereka… tampak aneh. Mata-mata rusa itu bersinar samar seperti sedang berada di bawah pengaruh sihir.

"Ini tidak biasa," kata Aria, memeriksa salah satu rusa dengan sihir pendeteksi. "Aura gelap… sangat lemah, tapi ada."

Liam memicingkan mata. "Mereka sedang menguji pengaruh Rune Kegelapan terhadap makhluk hidup."

Tiba-tiba, seorang pria tua muncul dari balik pepohonan. Ia mengenakan jubah lusuh, wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya tajam seperti elang.

"Kalian anak-anak Valthoria?"

Liam mengangguk. "Kami mencari informan."

"Aku adalah informan itu. Namaku Moriyama. Ikuti aku."

Mereka mengikuti pria tua itu menuju sebuah kuil tersembunyi di dalam taman, kuil yang tidak terdaftar di peta turis manapun. Di dalamnya, Moriyama membuka lantai kayu dan menunjukkan lorong rahasia yang mengarah ke bawah tanah.

---

Ruang Bawah Tanah Kuil

Lorong itu gelap dan lembap. Aroma jamur dan debu kuno memenuhi udara. Di ujung lorong, mereka tiba di ruangan batu besar yang diterangi oleh kristal bercahaya. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah meja batu yang dipenuhi gulungan kuno dan peta.

Moriyama menunjuk peta yang terbuka. "Lihat ini. Ini adalah lokasi semua struktur monumen Rune Kegelapan di seluruh Jepang. Mereka ada di Aokigahara, Kyoto, dan yang terbesar… di Nara."

Kael menatap peta itu dengan serius. "Yang terbesar?"

Moriyama mengangguk. "Tepat di bawah kita. Monumen pusat dibangun di bawah kuil ini, dan sudah mulai beresonansi. Jika ritual selesai, itu bisa membuka celah ke Dunia Abyss."

Aria menelan ludah. "Kalau itu terjadi, monster dan entitas dari Abyss bisa masuk ke dunia ini."

Liam berdiri. "Kita harus menghancurkan monumen ini sekarang juga."

Moriyama mengangkat tangan. "Tunggu. Tidak semudah itu. Monumen ini dijaga oleh pengawal khusus. Mereka bukan manusia, tapi Shadowsmiths, makhluk bayangan yang bisa berubah bentuk dan mencuri sihir musuhnya."

"Berapa banyak?" tanya Liam.

"Setidaknya tujuh. Dan mereka lebih kuat dari Abyss Knight biasa."

Kael tersenyum miring. "Tujuh lawan tiga. Angka keberuntungan kita."

---

Penurunan Menuju Inti Monumen

Mereka bertiga, dipandu oleh Moriyama, turun lebih dalam ke dalam struktur bawah tanah kuil. Di sepanjang jalan, ukiran-ukiran kuno menggambarkan perang sihir kuno antara pengguna sihir suci dan entitas Abyss.

Ketika mereka mendekati ruang pusat, suhu udara turun drastis. Aura gelap menyelimuti segala arah. Liam mencabut pedangnya, Aria mengaktifkan pelindung sihir, dan Kael mengisi tangannya dengan listrik.

Pintu batu besar di hadapan mereka terbuka perlahan, memperlihatkan ruang ritual yang sangat luas. Di tengah ruangan, sebuah monumen raksasa dengan simbol Rune Kegelapan berdiri, bersinar dengan cahaya ungu pekat.

Tujuh sosok gelap muncul dari sudut-sudut ruangan. Tubuh mereka seperti asap padat, berubah-ubah bentuk, dan wajah mereka seperti topeng kosong.

"Shadowsmiths…" bisik Aria.

Liam mengangkat pedangnya. "Kita selesaikan ini. Fokus hancurkan monumennya."

---

Pertarungan Melawan Shadowsmiths

Pertempuran meledak. Shadowsmiths menyerang dengan kecepatan mengerikan. Salah satu dari mereka meniru pedang Liam dan menebas balik dengan teknik yang sama persis.

Liam menangkis dan mengubah tekniknya secara spontan. "Mereka meniru, tapi tak bisa berinovasi."

Kael melompat ke atas dan menciptakan medan listrik. "Thunder Dome!"

Cahaya petir menyelimuti ruangan, melambatkan gerakan Shadowsmiths. Aria menggunakan celah itu untuk melempar mantra pengusiran bayangan.

"Lux Purge!"

Salah satu Shadowsmith terkena langsung dan meleleh seperti lilin. Tapi sisanya mulai menggabungkan diri, menciptakan satu entitas besar yang menyatukan kekuatan mereka.

Monster bayangan setinggi lima meter muncul. Mata merah menyala, aura kegelapan mengguncang seluruh ruangan.

"Kita tak punya waktu!" teriak Liam.

Mereka bertiga menyerang secara bersamaan. Liam memotong kaki monster bayangan dengan tebasan suci, Kael menghantam kepalanya dengan guntur surgawi, dan Aria merapal mantra pemurnian akhir.

"Sanctus Ardentia!"

Cahaya keemasan meledak, menelan makhluk bayangan raksasa. Jeritan nyaring memenuhi ruangan sebelum akhirnya hening. Monster itu hancur menjadi debu.

Liam berlari ke arah monumen dan menancapkan pedangnya, memanggil energi sihir suci.

"Seal Breaker!"

Sinar biru putih meledak dari pedang, merusak struktur monumen. Retakan muncul, lalu seluruh batu runtuh dengan suara gemuruh.

---

Setelah Pertempuran

Liam terduduk, napasnya terengah. Kael duduk di sampingnya sambil tertawa kecil. "Kita masih hidup."

Aria menghampiri mereka dengan senyum lega. "Dan kita berhasil menghancurkan salah satu monumen utama."

Moriyama masuk ke dalam ruangan dan menatap kehancuran yang ada. "Kalian… benar-benar pewaris generasi berikutnya."

Liam menatap ke atas, ke langit yang tampak dari celah reruntuhan. "Tapi ini belum berakhir. Masih ada monumen lain, dan kelompok jubah hitam masih bebas."

Kael mengangguk. "Kita lanjut ke misi berikutnya. Tapi untuk malam ini… kita istirahat dulu."

Cahaya pagi menembus reruntuhan kuil, menandai kemenangan kecil dalam perang besar yang baru saja dimulai.

----

Kabut pagi membungkus pelabuhan Tokyo Bay seperti tirai diam yang menyembunyikan ketegangan tak kasat mata. Liam berdiri di dek kapal udara Valthoria yang tengah melayang di atas permukaan laut, memandang ke cakrawala tempat menara Tokyo SkyTree menyembul samar di balik kabut. Angin dingin berembus pelan, membawa aroma asin dari laut dan jejak samar energi sihir.

"Tokyo..." gumamnya, jemarinya meremas rel kapal. "Tempat berikutnya yang akan mereka incar."

Aria dan Kael menyusul ke dek, masing-masing dengan wajah yang tak kalah tegang. Aria menggenggam sebuah artefak berbentuk kipas yang memancarkan sinyal fluktuasi sihir, sedangkan Kael, dengan rambutnya yang acak-acakan karena angin, sibuk mengutak-atik gelang taktisnya.

"Menurut data dari Moriyama," kata Aria, "ada pola resonansi gelap yang terus meningkat di bawah area Shinjuku dan Sumida. Lebih spesifiknya... tepat di bawah pusat transportasi bawah tanah Tokyo."

Kael mendesah. "Sial, itu salah satu tempat paling padat populasi di seluruh Jepang. Kalau mereka membuka celah Abyss di sana..."

"Chaos," potong Liam, tatapannya berubah dingin. "Mereka tak akan ragu memanfaatkan kekacauan itu sebagai bahan bakar ritual."

---

Rapat Strategi di Markas Rahasia Valthoria Tokyo

Begitu kapal udara merapat di pelabuhan tersembunyi Valthoria, mereka segera dibawa menuju markas bawah tanah yang tersembunyi di balik toko antik tua di kawasan Ueno. Di sana, mereka disambut oleh Sora Kanzaki, komandan lokal Valthoria Tokyo dan mantan penyihir garis depan.

"Selamat datang di zona merah," kata Sora, suaranya berat dan berpengalaman. "Kalian bukan yang pertama ditugaskan di sini... tapi mungkin satu-satunya yang masih bisa menyusup ke pusat sihir gelap tanpa menarik perhatian."

Di dalam ruangan pertemuan yang dikelilingi peta Tokyo holografik, Sora menunjuk serangkaian titik bercahaya merah.

"Inilah titik-titik aktif sihir gelap. Kami mendeteksi peningkatan aktivitas pada rel kereta bawah tanah—ada struktur kuno yang tampaknya telah dibangun jauh sebelum jalur itu ada. Kemungkinan besar monumen Rune Kegelapan tersembunyi di sana, dan kini mulai aktif."

"Apakah kami akan menyusup?" tanya Liam langsung.

Sora mengangguk. "Kita tak bisa menghancurkannya secara terbuka. Akan terlalu mencolok. Kalian akan turun lewat jalur servis tua di bawah Stasiun Tokyo, menyusup ke ruang reliktum, dan mencari inti monumen. Setelah itu... lakukan seperti yang kalian lakukan di Nara."

"Dan penjaganya?" tanya Aria.

Sora tersenyum pahit. "Mereka bukan Shadowsmiths. Kali ini... mereka adalah Simulacra."

Kael memicingkan mata. "Tiruan hidup?"

"Lebih dari itu. Mereka tiruan dari legenda. Makhluk hasil replikasi sihir dari para pejuang zaman kuno. Kalian bisa saja melawan tiruan penyihir tertinggi dari era Sengoku... atau bahkan replikasi dari entitas sejarah seperti Yamata no Orochi."

Keheningan menelan ruangan.

Liam mengangguk pelan. "Kalau begitu, kami akan turun malam ini."

---

Penyusupan ke Jalur Bawah Tanah

Tengah malam, Liam, Aria, dan Kael menyelinap masuk ke terowongan servis tua di dekat Stasiun Tokyo. Aroma logam karatan dan oli memenuhi udara. Cahaya obor sihir biru menyala dari gelang Aria, menerangi lorong sempit yang berujung pada gerbang kuno dari batu obsidian.

"Ini bukan bagian dari infrastruktur kereta biasa," gumam Liam.

Di balik gerbang, lorong melingkar turun seperti spiral tanpa ujung. Semakin dalam mereka masuk, semakin berat tekanan sihir yang terasa.

"Tekanan ini... seolah kita mendekati inti Bumi," kata Kael sambil mengatur napas.

Akhirnya mereka tiba di sebuah ruang luas berbentuk kubah. Dindingnya dipenuhi mural kuno yang menggambarkan dewa dan iblis bertempur di tengah Tokyo yang terbakar. Di tengah ruangan berdiri patung kolosal sosok samurai bertopeng, dan di bawahnya... monumen Rune Kegelapan bersinar ungu pekat.

Namun yang membuat mereka terpaku adalah empat sosok yang berdiri di depan monumen itu. Masing-masing mengenakan pakaian zaman berbeda—seorang onmyouji, samurai, pendeta kuil wanita, dan biksu berwajah seribu.

Kael berbisik, "Jangan bilang... itu Simulacra-nya?"

Aria mengangguk. "Dan mereka tampaknya... sepenuhnya sadar."

---

Pertarungan Melawan Simulacra Legendaris

Sosok onmyouji melangkah maju, membuka gulungan kertas mantra dan membacakan kalimat kuno. Angin mendadak berhenti. Ruangan berubah beku.

"Selamat datang, pewaris masa kini," suaranya tenang tapi mengandung ancaman. "Kalian menginjak tempat di mana batas sejarah dan mitos telah pecah."

Liam mencabut pedang dan menyerbu lebih dulu. Serangannya diblokir oleh pedang samurai Simulacra yang muncul dalam satu kedipan mata.

"Kecepatan mereka gila!" serunya.

Kael memutar tubuh, melepaskan bola petir ke arah biksu seribu wajah, namun tiap wajah menyerap serangan dan membalikkan energi itu ke arahnya.

"Aku tak bisa menggunakan sihir sembarangan. Mereka bisa memantulkan dan menyerap!"

Aria mengambil posisi dan membuka segel mantra pamungkas. "Kalau begitu kita lawan sihir dengan arketipe!"

Dia menciptakan salinan mantra peninggalan Valthoria: Circle of Diminishing Echoes, menciptakan zona yang membuat Simulacra tak bisa mereplikasi teknik baru selama beberapa detik.

Dengan celah itu, Liam berhasil menebas lengan samurai Simulacra, membuatnya mundur. Kael memanfaatkan kesempatan untuk menanam perangkat ledakan sihir di sekitar monumen.

Biksu Simulacra mulai memanipulasi realitas di sekeliling mereka, menciptakan ilusi medan perang zaman kuno. Mereka bertiga terjebak dalam medan psikis, di mana trauma dan kenangan dikacaukan.

Liam terjebak melihat dirinya kembali sebagai anak kecil di Zerturt, ditolak oleh para bangsawan sihir karena darahnya 'terlalu biasa'. Tapi suara Aria menembus ilusi itu.

"Liam! Fokus! Itu bukan kenyataan!"

Dengan teriakan penuh tekad, Liam menghantamkan pedangnya ke tanah, membelah ilusi dan membangkitkan kembali kekuatan dalam dirinya.

---

Penghancuran Monumen Tokyo

Kael memberikan sinyal. "Peledak siap. Kita hanya punya satu tembakan."

Liam, dengan kekuatan sisa, menyerang bersama Aria. Mereka berdua melemparkan kombinasi sihir terang dan suara, membutakan dan melumpuhkan Simulacra untuk beberapa detik.

"Ledakkan!"

Cahaya meledak dari titik tengah. Monumen hancur, menimbulkan ledakan balik energi Abyss yang memecah lantai dan dinding. Simulacra menghilang satu per satu, wajah mereka menunjukkan ekspresi lega seolah tugas mereka telah selesai.

Langit Tokyo di atas mereka, di balik reruntuhan, mulai retak secara harfiah. Sinar ungu dari celah dimensi nyaris masuk.

Aria berteriak, "Liam! Gunakan sihir pelindungmu!"

Liam memanggil semua kekuatannya. "Rite of Reversal—Sacred Lock!"

Celah mulai menutup, perlahan, seperti luka yang dijahit dengan cahaya.

---

Setelah Perang Bawah Tanah

Ketiganya terduduk, tubuh penuh luka, napas memburu.

"Tokyo... aman, untuk sekarang," kata Kael.

Tapi Liam tahu... itu baru awal. Di kejauhan, dari salah satu layar komunikasi darurat, sebuah pesan baru dari Zephyr muncul:

"Monumen Osaka... aktif."

------

Langit malam di Tokyo membara dengan rona kemerahan yang tidak alami. Kilat sihir menyambar langit seperti kilat petir, dan udara bergetar oleh resonansi mana tingkat tinggi. Di bawahnya, Menara Shinjuku berdiri sebagai mercusuar kegelapan. Puncaknya telah dipenuhi oleh struktur kristal hitam berkilau, monumen terakhir dari proyek Rune Kegelapan yang tengah mendekati penyelesaiannya.

Di jalanan yang kosong, pasukan khusus Valthoria berdiri dalam formasi sihir berbentuk spiral, menjaga perimeter radius 5 km dari menara. Pusat komando darurat telah didirikan di lantai bawah sebuah hotel di kawasan Kabukicho, diubah menjadi zona sihir yang diisolasi dari gangguan luar.

Liam berdiri di depan peta tiga dimensi holografik Tokyo yang telah disulap menjadi medan taktis. Di sebelahnya, Aria dan Kael telah mengenakan pakaian tempur resmi Valthoria—jubah berinskripsi suci, diperkuat dengan logam mithril Jepang.

"Ini akan menjadi pertempuran terakhir untuk mencegah kebangkitan Abyss di dunia ini," ujar Zephyr melalui artefak komunikasi.

"Berapa banyak musuh di dalam menara?" tanya Kael sambil menajamkan belatinya yang kini telah ditempa ulang dari pecahan Shadowsmith.

"Tidak bisa dipastikan. Energi mereka terus berubah. Tapi satu hal pasti… pemimpin mereka telah muncul. Dialah yang disebut sebagai 'Pendeta Akhir' dalam gulungan kuno Abyss. Namanya: Mal'Theron."

Aria menatap layar radar sihir. "Kalau dia muncul… kita butuh lebih dari sekadar kekuatan. Kita butuh strategi dan pengorbanan."

---

Penyusupan ke Menara

Dibantu oleh unit elite Valthoria, Liam dan timnya menyusup melalui lorong bawah tanah tua yang tersambung ke basement Menara Shinjuku. Aroma sihir hitam menusuk hidung, dan dinding batu tampak seperti berdarah, mengalirkan mana gelap yang mengerikan.

"Strukturnya hidup… seperti organ tubuh makhluk sihir," gumam Aria.

Liam menempelkan tangannya ke dinding. "Ini bukan sekadar struktur… menara ini telah berubah menjadi tubuh dari entitas Abyss itu sendiri."

Kael melangkah lebih dulu, menyalakan pelindung listrik di seluruh tubuhnya. "Kalau begitu, mari kita tusuk jantungnya."

Mereka terus maju, menghadapi rintangan demi rintangan. Setiap lantai menara menjadi medan perang mikro dengan tantangan berbeda.

Lantai pertama: Lorong Keputusasaan, dipenuhi ilusi masa lalu yang menggoda dan melemahkan tekad.

Lantai kedua: Sarang Leviathan Hitam, seekor naga bayangan bermata seribu yang menjaga segel awal monumen.

Lantai ketiga: Labirin Refleksi, tempat klon sihir mereka sendiri muncul dan menyerang dengan kekuatan yang sama.

Setiap kemenangan diraih dengan harga. Luka, kelelahan, dan tekanan mental mulai menghantui mereka. Tapi puncak sudah dekat.

---

Konfrontasi di Puncak

Di puncak menara, langit terbuka. Ritme sihir terdengar seperti detak jantung kolosal. Monumen terakhir berdenyut dalam cahaya ungu menghitam, dan di hadapannya berdiri Mal'Theron—sosok tinggi berselubung kabut, mengenakan jubah obsidian dengan simbol Abyss menyala di dadanya.

"Liam Azvalveth," ucapnya, suaranya bergema di dalam pikiran mereka. "Pewaris sihir suci… dan darah pengkhianat. Kau datang tepat waktu. Upacara akan dimulai."

Liam menggenggam pedangnya. "Tidak akan ada upacara. Hanya kehancuran bagimu."

Mal'Theron mengangkat tangannya. Delapan pilar sihir muncul di sekeliling menara, membentuk lingkaran pemanggilan. Dari setiap pilar, roh jahat Abyss mulai menjelma.

"Aria, ganggu aliran sihirnya. Kael, fokus hancurkan pilar keempat dan kelima. Aku akan urus Mal'Theron," perintah Liam.

Pertempuran pun pecah.

Kael menghujani pilar dengan sambaran petir surgawi, membakar roh yang baru muncul. Aria memanipulasi garis leylines di udara, menyusupi ritual sihir musuh dan membuat ritmenya berantakan. Sementara itu, Liam dan Mal'Theron berduel dalam pertarungan magitek dan ilmu pedang.

Mal'Theron berubah bentuk menjadi monster bayangan bersayap hitam dan menciptakan pedang sihir kembar. Mereka bertarung di udara, melintasi pusaran energi yang membelah langit Tokyo. Setiap tebasan mereka menghasilkan gelombang yang mengguncang bumi.

"Apakah kau tahu mengapa manusia tak pernah bisa memahami Abyss?" teriak Mal'Theron. "Karena kalian terlalu kecil untuk merangkul ketiadaan!"

Liam melompat ke atas, menebas melalui energi kegelapan dan memanggil mantra terakhir dari keluarga Azvalveth.

"Lumina Exordium!"

Sinar matahari buatan muncul dari ujung pedangnya, menghancurkan tubuh Mal'Theron dalam ledakan cahaya suci.

---

Penutup: Matahari di Timur

Monumen terakhir hancur. Pilar-pilar runtuh, dan seluruh menara mulai bergetar.

"Mundur sekarang!" teriak Aria.

Mereka bertiga melompat dari ketinggian, dilindungi oleh medan anti-gravitasi buatan Kael. Saat mereka mendarat di atap gedung terdekat, menara Shinjuku meledak perlahan dalam cahaya lembut, bukan kehancuran… tetapi pemurnian.

Zephyr muncul melalui portal sihir. "Kalian telah menyelamatkan Jepang… dan mungkin dunia. Tapi perang belum selesai. Abyss tidak musnah. Hanya tertunda."

Liam menatap cakrawala timur, di mana matahari terbit dengan sinar yang hangat. "Kalau begitu, kita akan siap untuk pertempuran berikutnya."

Dan di langit Tokyo, untuk pertama kalinya dalam seminggu, tak ada lagi bayangan mengerikan.

-----

— To be continued

More Chapters