Setelah berjam-jam menavigasi Lautan Akar, Solor akhirnya melihat cahaya samar menembus di antara pepohonan trembesi yang semakin jarang. Udara lebih lembab, dan angin yang berembus membawa aroma tanah basah serta lumut yang menua.
Solor menarik napas panjang, merasakan udara yang lebih segar dan bersih dibandingkan dengan pekatnya Lautan Akar yang baru saja ia lewati. Udara membawa jejak aroma air, mungkin sungai atau air terjun di suatu tempat di bawah sana. Beberapa pohon kelapa terlihat menjulang, menyela pemandangan yang sebelumnya didominasi oleh pepohonan trembesi raksasa. Jalan setapak Jalur Lumut terkadang tampak, terkadang tersembunyi di balik akar dan lumut.
Wus Wus mendengus pelan, telinganya bergerak-gerak, gelisah. Solor menepuk lehernya, menenangkan sang kuda yang juga tampak lelah setelah perjalanan berat. Di hadapannya terbentang tebing curam, tertutup kabut tipis yang berputar lembut, menyembunyikan dasar jurang yang tak terlihat. Namun, di antara kabut, ia dapat menangkap kilauan air sungai yang mengalir di bawah sana, membelah celah-celah batu yang dipenuhi akar dan sulur-sulur yang menggantung seperti tirai alami.
Solor mengamati sekeliling. Tidak ada jalur yang jelas. Ia turun dari punggung Wus Wus, membiarkan kudanya beristirahat sejenak sembari ia mendekati tepi jurang. Kakinya menyentuh tanah yang lebih padat, sedikit lebih stabil dibandingkan akar-akar yang licin sebelumnya.
Saat itulah matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terhenti sejenak.
Jejak kaki.
Jejak kaki aneh, jelas tercetak di tanah lembab, seperti cakaran tetapi terlalu besar, tak beraturan, seperti tanah liat yang telah dicangkul membuatnya merinding, jejak itu berhenti begitu saja di tepi tebing. Tidak ada tanda-tanda seseorang atau sesuatu yang kembali atau berbalik arah. Seolah-olah telah menghilang begitu saja… atau melompat ke dalam kabut.
Solor menelan ludah. Matanya menyusuri jurang di bawah, mencoba mencari petunjuk lebih lanjut. Tidak ada tanda tubuh atau pergerakan. Hanya suara gemericik air dari sungai di bawah dan desir angin yang berbisik di antara sulur-sulur yang bergelantungan.
Keningnya berkerut. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Dan siapa yang telah meninggalkan jejak ini? Apakah seseorang sedang mengawasinya dari balik kabut?
Wus Wus meringkik kecil, mengusik lamunannya. Solor menghela napas, lalu kembali ke kuda setianya. Ia tahu, tidak ada pilihan lain selain mencari jalan turun. Tapi kini, ada rasa waspada yang lebih besar dalam dirinya.
Seseorang pernah atau masih ada di sini. Dan ia harus siap menghadapi apa pun yang mungkin menunggunya di bawah sana.
Ia kembali menyusuri bibir jurang dengan hati-hati, berharap menemukan jalur yang benar. Tak lama kemudian, kabut mulai menipis, dan ia melihat sebuah puing jembatan putih lagi yang menghubungkan kedua sisi tebing. Itu bagian dari Jalur Lumut.
"Ah, akhirnya..." Solor tersenyum tipis, tetapi senyuman itu segera sirna.
Tiba-tiba, getaran terasa di tanah. Wus-wus meringkik gelisah. Solor mengira itu gempa bumi, tetapi getaran itu terlalu teratur. Ia meneliti sekitarnya dengan cermat. Di seberang tebing, dedaunan pohon trembesi besar bergoyang liar, seolah-olah ada sesuatu yang mendekat.
"Bukan gempa…" bisiknya waspada.
Tiba-tiba, suara teriakan menggema dari arah pohon-pohon besar.
"Ke arah sini!!!"
Dari balik kabut di seberang tebing, seorang pemuda muncul. Ia berlari dengan tergesa-gesa, tubuhnya diselimuti peluh dan napasnya tersengal. Terlihat panik, pemuda itu memanggil seseorang, tetapi sosok lain yang ia panggil belum tampak di balik bayangan pepohonan.
Solor menegakkan tubuhnya di atas Wus-wus, bersiap menghadapi apapun yang datang. Suasana hutan yang sunyi berubah menjadi mencekam. Ia tahu, perjalanan ini baru saja membawa ancaman yang lebih besar.