Cherreads

Chapter 19 - Pelataran Tebing

Kudanya terus berlari semakin mendekati tebing, tampak pohon pohon tumbuh renggang diantara bentangan padang rumput yang bergelombang pelan sejauh memandang, beberapa pohon damar yang rindang terlewati, hingga sampai bebatuan tebing itu lebih semakin dekat yang permukaannya lebih jelas, batu butih seperti batu marmer bergurat kasar nan kokoh, beberapa di tumbuhi lumut, dan pahatan jalan menaiki melingkari tebing sampai menjulang setinggi hampir ribuan meter, yang pinggirnya di batasi beberapa pagar kayu.

Wus Wus melangkah naik ke jalur batu yang menanjak menuju puncak tebing. Nafasnya berat, uap hangat keluar dari lubang hidungnya setiap kali ia menghela. Solor bisa merasakan tubuh kudanya gemetar halus di bawahnya, tapi kuda kecil itu tetap melangkah maju tanpa ragu.

Di tengah jalur yang menanjak, beberapa penunggang kuda lain melintas menuruni tebing. Wajah mereka tertutup syal tipis, hanya mata mereka yang terlihat — sekilas tajam, sekilas lelah. Mereka hanya melirik Solor sesaat sebelum kembali menunduk, seperti tak ingin membuang energi untuk sekadar menyapa. Kuda-kuda mereka berdebu, terlihat lusuh, seperti telah menempuh perjalanan panjang.

"MEMPERTAHANKAN DAN MELINDUNGI ADALAH TUGAS KESATRIA TERTINGGI DAN MULIA!!"

Deru angin memecah kesunyian dari teriakan keras seorang pengelana yang baru saja menuruni tebing. Suara itu menggema liar, seolah membawa pesan yang tak dimengerti Solor — entah peringatan samar atau seruan semangat yang terbungkus misteri. Tapi kenapa mereka berteriak seperti itu?

Meski dadanya bergemuruh oleh tanda tanya dan keraguan, secercah cahaya di hatinya tetap enggan padam. Ia menarik napas panjang, mengusir bayang-bayang pikirannya yang berkelindan. Tangannya terangkat, menepuk leher Wus Wus dengan lembut, seakan meyakinkan kuda setianya atau mungkin dirinya sendiri, bahwa perjalanan ini masih belum usai.

"Sebentar lagi… Kita akan tahu apa yang menunggu di sana."

Wus Wus meringkik pelan, seolah menjawab. Langkahnya tak goyah, meski jalanan di hadapannya makin curam dan menyempit. Matahari kini mulai bergeser ke tengah langit. Sinarnya yang menyelinap di celah awan menyorot jalur batu, memperlihatkan ujung tanjakan yang tak lagi jauh. Di sana, bangunan keong berwarna kuning keemasan berdiri kokoh,Tersoroti garis-garis cahaya yang menjurai dari langit, berkilauan laksana benang perak saat bertemu pantulan mentari, menambah kesan magis pada bangunan keong yang sudah tampak menakjubkan.

Sampai di pelataran puncak tebing, Solor turun perlahan. Beberapa orang terlihat berlalu lalang, Kakinya menjejak tanah berpasir yang bercampur rumput liar. Di depan bangunan keong itu, berdiri sebuah papan kayu tua yang terpancang kokoh.

Huruf-huruf aksara jawa besar terpahat di papan tersebut:

"Warung dan Pondok Kecot"

Solor terdiam. Angin berembus pelan, menerbangkan rambut kuncirnya yang basah oleh peluh. Matahari kini bersinar terang di atas sana, seolah menyinari jalannya.

Diluar bangunan yang tampak sedikit ramai, beberapa pedagang menarik gerobak penuh tumpukan tumpukan kantong berisi barang barang, lainnya seperti sibuk di tempat tambatan kuda disisi sebelah bangunan.

Solor melangkah mendekat, tangannya menggenggam kendali Wus Wus dengan erat, tapak kakinya berdecak pelan di atas tanah berdebu, menuntunnya menuju tempat tambatan kuda

Matanya menangkap detail bangunan itu. Beberapa tenda kain berwarna marun kemerahan melilit sebagian cangkang keong raksasa yang menjadi atapnya, membentuk semacam pelindung lusuh namun kokoh. Kain-kain itu berkibar lembut diterpa angin, serupa bendera perang tua yang seakan menyimpan ribuan kisah tak terucap. Di setiap lipatan dan koyakan kecilnya, terbayang jejak waktu — seolah kain-kain itu telah menyaksikan peristiwa besar, para pejuang yang datang dan pergi, serta bisikan rahasia yang tak pernah sampai ke telinga rakyat biasa. 

Aura bangunan itu terasa berat, bukan karena usangnya, tapi karena jejak perjuangan para kesatria mulia yang seolah meresap ke setiap sudutnya. Dinding-dindingnya bagaikan saksi bisu dari tekad yang tak pernah padam, dan setiap tiupan angin yang menyelinap di celah-celah kain marun seakan membawa bisikan semangat lama yang enggan sirna. Di sana, kemuliaan dan pengorbanan terasa hidup kembali, tak kasat mata, namun begitu nyata menggema dalam hati siapa saja yang melangkah mendekat.

"Persinggahan para pengelana…" gumamnya pelan

More Chapters